Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ismail Yusanto mengatakan, ketentuan dalam draf RUU Pemilu yang melarang mantan anggota HTI untuk mengikuti pemilihan umum itu telah melampaui batas. Bahkan, boleh disebut melanggar ketentuan terkait hak politik warga negara.
Mungkin Ismail Yusanto tidak pernah bercermin. Ia dan kelompoknya merasa tidak bersalah. Mereka kerap menyalahkan kelompok lain yang berseberangan, tapi luput dengan kesalahannya sendiri.
Hizbut Tahrir memang sebuah lawakan tak lucu. Jangan pernah terkecoh dengan kata “Indonesia” di belakang nama Hizbut Tahrir. Toh, HTI tidak pernah konsisten dengan jargon yang mereka usung. Kerap berkoar-koar menolak demokrasi. Menyebutnya sebagai sistem “thagut” namun kerap berdemonstrasi ke jalan-jalan. Padahal demonstrasi adalah instrumen demokrasi. Dan absurdnya, tema mereka selalu seragam. Apapun permasalahan bangsa ini, maka khilafah sebagai solusinya. Seakan-akan sistem khilafah adalah “panasea” untuk setiap permasalahan yang ada di dunia ini.
Nyata-nyata tujuan mereka hanyalah satu. Yakni, mewujudkan sistem khilafah versi mereka (HTI) dengan meruntuhkan sistem pemerintahan yang sudah ada sebelumnya. Upaya pembubaran yang dilakukan pemerintah seharusnya sudah lama dilakukan. Hanya saja, SBY tidak berani mengambil risiko tersebut. Dan bola api tersebut ada di tangan Pemerintahan Jokowi. Segala risiko, pro serta kontra apapun harus siap diterima pemerintah, termasuk tuduhan bahwa pemerintahan Jokowi mengidap Islamofobia.
Tidakkah kita belajar dari negara-negara Timur Tengah, di mana ketaatan terhadap pemerintah atau penguasanya sudah hilang ? Kondisi mereka sangat memprihatinkan, konflik di tempat-tempat ini seakan-akan tak berkesudahan. Apa yang terjadi di Syiria, Mesir, Libia dan Irak dapat menjadi cermin agar kita tidak mengulang apa yang terjadi di negara mereka. Harga yang harus dibayar oleh generasi ke depan sangatlah mahal.
https://seword.com/politik/dagelan-tidak-lucu-eks-hti-FWlBRdzYCP
Discussion about this post