Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengusulkan perubahan pasal-pasal karet dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Hidayat Nur Wahid meminta hal itu menanggapi sebuah berita berjudul “Sejuwo Tejo: Jika Pak Jokowi Ingin Warga Kritik, Tertibkan Buzzer Penumpang Gelap”.
“Kalau Presiden serius, selain menertibkan buzzerrp penumpang gelap,baiknya pak @jokowi (pemerintah) juga usulkan ke DPR, perubahan pasal-pasal karet dalam UU ITE, yang membuat para pengkritik takut karena bisa ditangkap/dikriminalisasi,” katanya.
Menurut budayawan Sujiwo Tejo, niat warga yang mau melempar kritik ke pemerintah bisa surut gara-gara resah dengan serangan buzzer.
“Masyarakat tadinya sudah aktif menyampaikan kritik ke government tapi langsung diserang oleh buzzer. Kritik berupa pikiran dan sikap di balik dengan serangan pribadi yang sering tanpa bukti. Plus makian-makian,” kata Sujiwo Tejo.
“Akibatnya banyak yang akhirnya jadi malas mengritik, bukan karena takut buzzer tapi risih saja dengan kata-kata mereka yang tak senonoh,” katanya.
Sujiwo Tejo menilai perkataan Presiden Jokowi yang mengajak masyarakat aktif mengkritik adalah bukti buzzer yang selama ini ada bukanlah buzzer istana. Jika ingin masyarakat aktif melontarkan kritik, Presiden Jokowi disarankan segera menertibkan buzzer.
“Tapi buzzer pihak penumpang gelap yang justru ingin menjatuhkan Pak Jokowi, yang ingin membuat citra buruk Pak Jokowi bahwa antikritik,” katanya.
“Kalau Pak Jokowi ingin masyarakat aktif mengritik government-nya ya tertibkan itu buzzer-buzzer penumpang gelap via Polri dan Kemenkominfo,” sambung Sujiwo Tejo.
Menurut saya, ini tuntutan yang sangat tidak masuk akal dan tidak logis. Artinya, kalau mau kritik pemerintah, harus tertibkan buzzer. Yang artinya pengkritik tidak boleh mengkritik. Artinya mereka boleh kritik tapi tidak mau dikritik?
Logikanya dimana ini?. Mau menghujat tapi tidak mau dihujat. Masa kritikus itu harus bebas kritik? Apakah maunya kebebasan berpendapat hanya berlaku kalau mengkritik pemerintah saja? Ketahuan banget orang ini tidak layak diladeni.
Untuk diketahui, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara mengatakan tidak ada aturan yang melarang buzzer. Rudiantara mengatakan posisi buzzer sama dengan influencer selama tidak melanggar undang-udang.
“Buzzer itu nggak ada yang salah. Di UU ITE nggak ada buzzer dilarang. Apa bedanya buzzer dengan influencer, buzzer dengan endorser. Itu aja. Kalau dia salah, kalau kontennya melanggar Undang-Undang. Selama nggak melanggar undang-undang, mau buzzer, mau influencer ya sama saja,” kata Rudiantara
Lebih lanjut, Rudiantara menuturkan tidak aturan mengenai buzzer. Dia menuturkan buzzer sama dengan endorser. “ITE itu nggak ada istilah kata mengenai buzzer. Apalagi melarang buzzer, influencer dilarang. Mereka sama. Influencer atau endorser itu lebih ke arah komersil,” ucapnya.
Tuh kan… Perlu dipertegas bahwa, yang tidak boleh itu menyebarkan konten yang melanggar Undang-undang. Dari sekian banyak buzzer yang pro-pemerintah, hanya sedikit yang berbayar. Sisanya, bergerak atas dorongan hati sendiri.
Apakah buzzer ini berbahaya? Siapa saja yang melanggar hukum pasti berbahaya. Sementara siapa pun yang tidak melanggar hukum, tidak berbahaya. Sama saja, selama buzzer berbayar atau alami itu tidak melanggar hukum, ya aman-aman aja.
Sebagai seorang buzzer, saya malah mengajak setiap orang yang cinta NKRI untuk menjadi buzzer NKRI. Selama ini saya dan banyak orang berjuang di media sosial untuk melawan, menghadang, menghantam, dan meluruskan narasi sesat dari oknum atau kelompok tertentu.
Perusak NKRI seperti pelacur khilafah, kelompok intoleran, politisi atau tokoh barisan sakit hati selalu menggunakan media sosial untuk menyebarkan narasi sesat dan propaganda mereka.
Kalau mereka ini tidak dihadang, dilawan dan dihantam buzzer NKRI, mungkin masalah siswi nonmuslim wajib memakai jilbab tidak akan terselesaikan, pelarangan pembangunan rumah ibadah minoritas tidak akan dapat perhatian.
Propaganda khilafah anti Pancasila akan merajalela, hoaks kadrun akan merusak bangsa, narai pro-kemerdekaan Papua akan merajalela, SJW akan merusak pemikiran masyarakat dan lain sebagainya yang berbahaya bagi bangsa ini. Dan ingat, semua itu buzzer NKRI lakukan tanpa bayaran.
Yang merasa terancam adalah mereka yang pro-khilafah, yang pro-intoleransi, politisi atau tokoh barisan sakit hati, media yang kehilangan iklan, SJW yang tak capai target sesuai bayaran, dan mereka yang bersembunyi di balik topeng agama. Apakah ini harus dibiarkan?
Kita harus bangga menjadi buzzer NKRI di media sosial. Toh tidak dibayar untuk itu, kita lakukan dengan suka rela. Toh ini pemikiran kita sendiri, kuota internet juga sendiri.
Jika kita tidak punya kemampuan dan kesempatan membangun NKRI, setidaknya kita ikut menjaganya dari pihak-pihak yang mau menghancurkannya walau hanya jadi buzzer.
Discussion about this post