Menurut sejarahnya, partai Demokrat memang dibikin oleh sejumlah tokoh sebagai kendaraan SBY untuk nyapres. Hasilnya pun cespleng. SBY dua kali dihantar ke Istana dengan hasil pilpres yang sangat meyakinkan: 60% lebih! Lucu sebenarnya menyaksikan kisruh Partai Demokrat ini. Tapi sebenarnya tidak perlu sampai begitu andaikata SBY tidak bikin ulah.
Tapi yang SBY lupa adalah bahwa partai itu bukan untuk dia miliki. Bahkan walaupun dirinya sempat ditunjuk para petinggi partai untuk mengambil alih partai, itu hanya sementara waktu. Apalagi ketika itu SBY sedang menjabat presiden RI pula. Maka sulit diharapkan konsentrasinya 100% untuk partai ketika itu. Tapi waktu itu sosoknya memang amat diperlukan sebagai pemersatu, supaya kader-kader tidak pecah.
Kesalahan paling fatal dilakukan SBY ketika mewariskan partai kepada putranya, Agus. Padahal anak muda ini bukan siapa-siapa sebenarnya di partai. Dia yang sedang enjoy di kemiliteran dengan pangkat mayor, dicabut untuk menjadi cagub DKI. Bodohnya Agus kok mau. Apa dia tidak tahu sejarah dan “tradisi” bahwa untuk menjadi cagub DKI Jakarta minimal mayor jenderal.
Tapi bisikan yang membius, bahwa dari Balai Kota dia bisa meloncat ke Istana Presiden, membuatnya jadi bodoh. Agaknya pertimbangannya adalah bahwa di dalam dirinya mengalir DNA presiden. Maka keyakinan itu begitu membuncah. Namun sebagaimana kita tahu, dia bukan hanya gagal total dalam pilgub DKI tahun 2017 itu. Perolehan suaranya yang hanya secuil, menandakan dia bukan apa-apa.
Kesalahan SBY kembali terjadi ketika Agus yang gagal dalam pertarungan politik, justru diberikan kehormatan yang sangat besar, menjadi ketua umum partai. Sebagai ketum partai, Agus mulai unjuk diri, namun sering kali malah terlihat konyol.
Kini Agus disibukkan ancaman serius terhadap kedudukannya sebagai ketua partai. Kader senior dan pendiri Demokrat sudah melakukan KLB di Deliserdang serta memilih Jenderal TNI (Purn) Moeldoko menjadi ketua umum. Memang Kemenhukham sudah menolak permohonan atas kepengurusan Moeldoko, namun banyak pihak yakin bahwa pertarungan belum berakhir.
Masih ada langkah-langkah yang tujuan utamanya adalah melepaskan partai dari cengkeraman gurita Cikeas. Maka saat ini yang terjadi adalah “perang” antara Agus dan Moeldoko. Sangat nyomplang mengingat yang satu “hanya” berpangkat mayor, sedangkan lawannya jenderal.
Dan Moel bukan sembarang jenderal, namun sudah melalui berbagai jenjang kepangkatan dan karir sempurna di dunia kemiliteran. Dia pernah menjadi kepala staf Angkatan Darat (KASAD), panglima TNI. Kini dia menjadi kepala staf kepresidenan.
Lha, Agus? Gara-gara kepincut jabatan sebagai gubernur DKI, dia menanggalkan dunia kemiliteran dalam kondisi yang sangat nanggung. Padahal, jabatan politik apalah yang pantas untuk seorang (mantan) militer yang cuma berpangkat mayor? Paling banter sebagai bupati atau walikota? Yang ini malah berambisi jadi gubernur, dan presiden? Tidak tahu diri banget.
Sekarang, sebagai ketua umum Partai Demokrat, si Agus harus berhadadapan dengan rival kelas berat, Moeldoko, yang juga dapat mengklaim dirinya sebagai ketua umum Demokrat. Mengapa tidak? Wong dia terpililih lewat KLB kok.
Agus vs Moeldoko. Mayor melawan jenderal. David melawan Goliath. Akankah David yang sekarang ini bakal sukses lagi menghajar si Goliath? Menarik untuk diikuti perkembangannya.
Namun kini Agus sudah mulai berani melontarkan kata-kata sindiran terhadap Moeldoko. Misalnya saja dalam konferensi pers di kantor DPP Partai Demokrat, Senin (29/3/2021), AHY berujar:
“Kami pikir setelah lebih tiga minggu tak bersuara KSP Moeldoko akan mengeluarkan argumen yang bernas, ternyata cuma pernyataan bohong lagi dan bohong lagi. Bahkan seolah menghasut dengan pernyataan soal pertentangan ideologi”, cetus Agus.
Agus berani menuding Moeldoko bohong? Ini sesuatu yang mustahil terjadi di ranah kemiliteran. Tentara yang pangkatnya lebih rendah harus menghormati sesama anggota yang pangkatnya lebih tinggi. Seorang mayor harus patuh dan tunduk pada seorang jenderal, bahkan ketika sudah tidak aktif di kemiliteran lagi, alias pensiun.
Namun karena sedang berada dalam pusaran politik, panas pula, maka tradisi yang sudah baku itu tampaknya sudah tidak berlaku sama sekali. Lihat saja, Agus yang cuma mayor itu berani-beraninya berlaku “kurang ajar” terhadap seniornya, yang bukan cuma sekadar senior pula, namun pernah mencapai posisi puncak di kemiliteran.
Sementara Agus? Kalaupun selaku mayor mendapatkan jabatan di institusinya, paling banter cuma danramil? Tapi kejam dan brutalnya politik telah membuat segala tatakrama dan tradisi yang baik itu tiada berbekas.
Menyesakkan sekali memang ketika melihat seorang Moeldoko harus berhadapan dengan Agus. Sungguh tidak sebanding dan tidak selevel ditinjau dari sudut mana pun. Tapi ini semua terjadi gara-gara oknum yang ingkar janji dan menghalalkan segala cara demi ambisi yang kebablasan.
Discussion about this post