Dari awal terpilihnya Anies melalui suara terbanyak hanya bisa berharap, ia mampu melanjutkan hal baik yang sudah maupun yang sedang direncakan pemprov di masa kepemimpinan Ahok. Terlalu naïf memang, sebab, hampir tak satu pun kebijakan yang sudah baik dilanjutkan, justru yang dilakukan pemprov Jakarta di masa kepemimpinan Anies terkesan mundur dan konyol.
Meskipun kebijakan yang terkesan konyol, pemprov DKI Jakarta dibawah kepemimpinan Anies mengeluarkan uang yang cukup besar untuk kebijakan tersebut. Dimana proses demokrasi yang berpengaruh terhadap hasilnya. Proses berkualitas, maka hasil pemimpin yang dihasilkan pun berkualitas. Karena, proses terpilihnya Anies menjadi pemimpin sangat jauh dari cerminan demokrasi berkualitas.
Ini bukan masalah kebencian, tetapi ini masalah rasionalitas pemimpin yang memiliki kuasa dalam kebijakan dan menentukan nasib orang banyak. Penguasa yang mampu melakukan banyak hal untuk orang banyak secara adil.
Permasalahan orang yang telah menduduki kursi jabatan adalah lupa akan tujuan awal seorang pemimpin yang harus mengedepankan kepentingan orang banyak. Tak jarang, kekuasaan digunakan untuk kepentingan pribadi dan golongannya. Karena itu, korupsi dan segala jenis turunannya pun dilakukan.
Markup menurut saya adalah turunan dari korupsi. Sama seperti menyuap untuk meluluskan proyek. Menyuap agar perusahaannya yang mendapatkan tender pemerintah secara tidak adil. Bukan mendapatkan tender karena kualitas dan harga yang bersaing.
Terkait hal itu, Jakarta dibawah kepemimpinan Anies Baswedan begitu sakti dan dianggap suci. Meskipun kami orang awam melihat adanya markup pembelian untuk pengadaan alat damkar, tetapi itu dikatakan sebagai kelebihan bayar. Memang kita tidak bisa menyalahkan Anies. Yang bisa kita tanyakan adalah, mengapa Anies terkesan sering kecolongan kalau soal duit?
Markup pada umumnya kita anggap sebagai upaya memalsukan data penjual real dengan tujuan mengambil selisih lebihnya untuk kantong pribadi. Sedangkan lebih bayar adalah ketidak sengajaan karena salah transfer, salah total karena quantity dan lain sebagainya.
Dalam berita menjelaskan secara gamblang, bahwa lebih bayar itu ditemukan oleh BPK karena penelusuran laporan keuangan di tahun 2019. Dan saat ini tahun 2021. Kalau lebih bayar, seharusnya tidak menunggu lama.
Administrasi sederhananya begini. Penjualan yang dikeluarkan menimbulkan piutang. Piutang besarnya sama dengan penjualan kepada customer. Ketika customer membayar, tentu saja akan digunakan untuk pelunasan piutang tersebut.
Asumsinya begini, ketika DKI Jakarta sudah membayar hutangnya kepada perusahaan penyedia, maka sudah otomatis si perusahaan penyedia akan check pembelian dari DKI Jakarta, setelah itu akan melakukan pelunasan. Dan sudah pasti, jika ada lebih bayar maka akan langsung ketahuan, tidak perlu menunggu audit BPK.
Dalam berita tersebut pun menjelaskan secara gamblang bahwa harga rill barang lebih rendah ketimbang harga yang dimuat dalam kontrak. Selisihnya pun miliaran. Padahal kalau kita mau jujur, selisih sejuta dua juta aja itu cukup besar, ini nilainya miliaran.
Untuk harga Unit Submersible, harga riil: Rp 9 miliar, sedangkan nilai kontrak: Rp 9,7 miliar. Selisih untuk barang tersebut sebesar 761 juta rupiah.
Sedangkan untuk Unit quick response memiliki harga riil sebesar Rp 36 miliar. Nilai kontrak: Rp 39 miliar dan terdapat selisih sebesar Rp 3,4 miliar.
Untuk unit Penanggulangan Kebakaran pada Sarana Transportasi Massal memiliki harga riil sebesar Rp 7 miliar. Namun dalam nilai kontraknya sebesar 7,8 miliar, sehingga selisihnya sebesar 844 juta rupiah.
Sedangkan untuk unit pengurai material memiliki harga rill sebesar 32 miliar rupiah, namun dalam nilai kontrak sebesar 33 miliar rupiah. Selisihnya mencapai 1,4 miliar.
Kalau memang Jakarta selip untuk kebijakan tersebut, saya jadi berfikir bahwa TGUPP yang jumlahnya terbesar sepanjang sejarah Jakarta tersebut gak terlalu membantu. Padahal di dalam TGUPP bentukan Anies Baswedan yang dibayar menggunakan uang APBD tersebut ada mantan komisioner KPK. Bahkan jumlah TGUPP sudah melebihi jumlah menteri kabinetnya Jokowi.
Kalau markup seperti di atas dianggap bukan kejahatan. Mungkin hal itu bisa dicontoh oleh daerah-daerah lain untuk mencoba. Kalau ketahuan dan ditangkap oleh KPK, maka silahkan protes mengapa di Jakarta hal seperti itu dianggap biasa.
Discussion about this post