Pantas saja KPK sebagai lembaga anti rasuah selalu bermain drama, tebang pilih kasus dan bersikap anti pemerintah. Rupanya benih-benih pengkhianat seperti Veronica Koman sejak lama merasuki lembaga ini. Usut punya usut sejak si tua Abdullah Hehamahua menjadi penasihat di sana, telah terjadi pergeseran ideologi ke arah radikalis. Buktinya ternyata masih banyak pegawai KPK yang tak lulus tes wawasan kebangsaan. Tak hanya itu, ternyata selama ini mereka tak mau mengakui Jokowi dan Ma’ruf Amin sebagai presiden dan wakil presiden.
Hal ini menjadi bahan pemberitaan salah satu media mainstream. Bahwa pasca ditetaplan status menjadi ASN, saat itu pula KPK buru-buru insaf. Seperti dilansir detik.com, KPK menyampaikan hasil asesmen tes wawasan kebangsaan pegawai KPK untuk alih status sebagai aparatur sipil negara (ASN). Ada yang berbeda dalam pengumuman itu.
Tampak hadir Ketua KPK Firli Bahuri ditemani Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron. Selain itu, ada Anggota Dewan Pengawas (Dewas) KPK Indriyanto Seno Adji dan Sekjen KPK Cahya Harefa. Namun ada yang berbeda dalam konferensi pers itu. Terlihat di bagian latar belakang yang biasanya hanya tercantum logo KPK terdapat foto Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Selain itu, ada pula bendera Merah-Putih.
Hal ini termasuk hal baru di KPK. Sebelumnya, tidak ada foto presiden atau wakil presiden di latar belakang saat konferensi pers KPK. Entah apalagi tanggapan para pembela KPK soal lenyapnya foto kepala negara di lembaga anti rasuah selama ini. Sudah hidup digaji negara, masih memungkiri keberadaan kepala negara. Mungkin mereka merasa kedudukannya di atas kepala negara. Harusnya dengan kewenangan tinggi sekalipun tetap harus menghormati presiden dan wakilnya. Ini juga dimaksudkan agar KPK tetap menjadi aset bangsa Indonesia di bawah kepala negara yang sah. Memasang foto presiden berarti menghargai pimpinan tertinggi negara ini yang dipilih oleh mayoritas rakyat.
Entah apalagi tanggapan para pembela KPK soal lenyapnya foto kepala negara di lembaga anti rasuah selama ini. Sudah hidup digaji negara, masih memungkiri keberadaan kepala negara. Mungkin mereka merasa kedudukannya di atas kepala negara. Harusnya dengan kewenangan tinggi sekalipun tetap harus menghormati presiden dan wakilnya. Ini juga dimaksudkan agar KPK tetap menjadi aset bangsa Indonesia di bawah kepala negara yang sah. Memasang foto presiden berarti menghargai pimpinan tertinggi negara ini yang dipilih oleh mayoritas rakyat.
Kalau kedutaan Indonesia yang berada di luar negeri saja masih memasang foto presiden, kenapa KPK yang di Jakarta malah tak mau mengakui kepala negara. Ini juga berarti KPK tak menghargai presiden sebagai salah satu lambang negara. Maka tak salah kalau nilai tes kebangsaan mereka jeblok. Akhirnya atas berkat rahmat Tuhan, aib mereka mulai terbuka di bulan yang suci ini. Ini juga sekaligus menjawab kenapa KPK selalu bermain playing victim dan suka tebang pilih kasus.
Lihat saja teman-teman mereka yang di media dan di balaikota garang membela. Si mantan jubir mengatakan yang perlu tes kebangsaan harusnya koruptor, bukan pemburu. Sedang Bambang Widjayanto menuduh tes ini sebagai upaya pelemahan KPK. Padahal dari ribuan yang tak lolos cuma 75. Coba kalau Novel Baswedan lulus, pasti tak akan ada drama playing victim sebesar ini. Ini cuma-cuma gara-gara seorang Novel yang menjadi idola kaum pecundang. Akhirnya kita semua sadar orang macam apa Novel ini. Awalnya kita semua tertipu termasuk presiden. Drama penyiraman air keras yang dibesarkan untuk menyerang pemerintah kini berbalik arah. Justru Novel sendiri yang kini merasakan karma dianggap pengkhianat bangsa. Semua media dan masyarakat kini tahu kalau dia tak lulus tes kebangsaan alias NKRInya dipertanyakan. Jadi sudah sewajarnya jika ia cepat dinonaktifkan.
Discussion about this post