Komisi Pemberantasan Korupsi hari-hari ini jadi pusat pemberitaan. Ada yang bilang KPK sudah melempem. Ada yang mengatakan KPK jadi sarangnya paham radikalisme, dan masih banyak tudingan serta serangan miring lainnya.
Sangat prihatin. Tadinya KPK yang adalah sebuah badan ‘superbody’ karena punya hak dan kewenangan sangat besar serta kuat. Dia juga punya sepak terjang yang dipuja-puji banyak orang, bahkan Diharapkan kelak dapat menjadi benchmark pemberantasan korupsi di Asia bahkan dunia.
Dalam catatan sejarah, KPK telah berhasil menjebloskan begitu banyak pejabat ke dalam tahanan karena kasus korupsi. Para koruptor dibuat menggigil tak karu-karuan. Hebat. Tapi kenapa lembaga ini selalu punya banyak masalah internal? Ini sungguh sangat memprihatinkan.
Ada tulisan yang mengatakan bahwa seorang Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Univ. Andalas, Feri Amsari menilai bahwa empat pimpinan KPK selain Firli bahuri sebagai tidak berguna. Ini tudingan telak bagi institusi sekelas KPK.
Bukankah kalau tidak berguna ya diganti saja. Supaya tidak jadi duri dalam daging. Entalah apakah mereka memang tidak berguna atau tudingan itu yang justru asbun dan tidak berdasar sama sekali?
Ini semua tentu saja tak lepas dari polemik viral soal 75 pegawai yang katanya berintegritas namun terpaksa non-aktif akibat ‘gagal’ dalam tes wawancara kebangsaan.
Empat pimpinan KPK pun kena imbah, mereka dituding sebagai boneka belaka oleh karena mereka tidak lagi menganut prinsip kolektif kolegial dalam mengambil keputusan, sebab kayak dicocok hidungnya dan mereka semua hanya mau menuruti keputusan Firli Bahuri. Ini juga sebuah tudingan atau dugaan bahwa ada campur tangan Firli yang menyebabkan 75 pegawai ini tidak lolos tes.
Tapi di sisi lain, muncul pertanyaan sederhana, masak sih sekelas pegawai KPK yang katanya berintegritas kok nggak menguasai wawasan kebangsaan sih, ada apa ini? Test Wawancara Kebangsaan diikuti oleh tak kurang dari 1351 pegawai KPK. 75 orang diantaranya akhirnya harus non aktif.
Bahkan setelah dicek, ada nama-nama mentereng di sana. Sebut saja penyidik senior Novel Baswedan (apa memang tidak tahu wawasan kebangsaan orang ini?). Dalam daftar nama-nama itu ada juga nama penyidik Yudi Purnomo, lalu ada Direktur Sosialisasi dan Kampanye Anti-Korupsi KPK yaitu Giri Suprapdiono yang luar biasa itu, Kasatgas KPK Harun Al Rasyid, dan nama-nama lainnya.
Menurut Ketua Setara Institute Hendari bahwa tidak lolosnya 75 pegawai KPK ini dalam Test Wawancara Kebangsaan dalam rangka alih status menjadi ASN adalah hal yang biasa saja. Wajar-wajar saja, tidak usah diperdebatkan atau dipolemikkan. Namanya sebuah test, ya sudah barang tentu pasti ada yang lolos dan ada yang tidak. Nggak ada yang aneh dalam hal itu. Hal ini sejalan dan senada dengan apa yang dikatakan Prof Romli.
Ini justru luar biasa. Ya, luar biasa menggelikan bila sekaliber mereka gagal saat wawancara. Coba membayangkan, kalau saja test kebangsaan ini sudah dilakukan saat pertama kali penerimaan di KPK maka mereka bisa jadi tidak akan pernah punya kesempatan bekerja atau bercokol di KPK.
Kalian pasti penasaran sebetulnya, di bagian mananya mereka semua itu gagal? Saat pertanyaan tentang apa yang mereka tidak bisa jawab atau salah dalam menjawab? Menarik untuk disimak.
Sudah banyak narasi yang berkembang. Tinggal kita baca dengan kejujuran pandangan kita tentang polemik KPK ini.
Kalau kita bisa bertanya sedikit tajam, pasti sangat ingin ajukan sebuah pertanyaan kontemplatif: Apakah hari ini kita memang masih butuh kehadiran KPK? Kalau jawabannya “iya”, muncul pertanyaan selanjutnya, akankah KPK masih punya taring? Dalam polemik itu terdapat anasir-anasir yang kurang baik.
KPK harus terus berupaya untuk tidak memegang pisau hukum yang hanya tajam ke bawah dan tidak pernah tajam ke atas. Beranikah KPK membongkar kasus-kasus korupsi kelas berat yang telah merugikan negara sangat besar misalnya? Termasuk oleh para “pemain lama” atau “kasus lama” sekalipun. Atau jangan-jangan hanya berani pada kasus kelas teri semata? KPK harus buktikan itu baik dalam karsa maupun tindakan.
Masalah internal KPK ini mestinya segera diselesaikan. Persoalan 75 pegawai non aktif KPK yang meluas ini juga terjadi polarisasi sangat kental di masyarakat, yaitu mendukung dan menolak. Mengenai pertanyaan-pertanyaan yang muncul saat wawancara itu pun terjadi polarisasi ada yang setuju ada yang tidak.
Untuk menjadi ASN memang harus ada test kebangsaan, tetapi syarat mutlak tersebut juga bergantung pada apa saja pertanyaan yang kemudian ditanyakan sehingga yang 75 ini tidak lolos. Dari segi prosentase kecil sih, 75 dari seribuan pegawai. Tetapi polemik ini membelah banyak pandangan yang beredar di masyarakat.
KPK harus segera menyelesaikan masalah-masalah seperti ini supaya mereka dapat bekerja lebih baik lagi bukan sebaliknya. Banyak kasus-kasus yang sedang menunggu, jangan sampai karena persoalan 75 orang ini maka penanganan kasus terbengkalai.
Lembaga ini harus jujur pada dirinya sendiri, masikah keberadaan KPK dapat diharapkan? Semoga iya!
Discussion about this post