Siapa memang yang rela dijadikan kambing hitam. Tidak melakukan sesuatu yang dia perbuat tapi disalahkan. Mending makan sate kambing dari pada jadi kambing hitam, semua juga tahu hal tersebut.
Tapi berebeda dengan Anies, sepertinya dia tidak menyadari hal tersebut. Dia terlihat sudah cukup nyaman dengan melempar semua kesalahan, ketidakbecusannya sendiri dalam bekerja, kelemahannya dalam memimpin ibu kota, ke semua orang dan hal selain dirinya sendiri.
Mungkin ada yang masih ingat ketika Anies menyalahkan sistem e-budgeting era Ahok, yang katanya tidak smart. Padahal pada saat itu, peluang korupsi dapat dideteksi oleh sistem tersebut. Memang ada upaya dari oknum-oknum di lingkaran Anies yang maruk angaran lem aibon dan ballpoint, yang langsung di notice dengan system.
Anies juga sering kali menyalahkan cuaca saat air hujan tak kunjung masuk ke tanah Jakarta, seperti apa yang dulu dia janjikan sebagai syarat Jakarta tidak banjir. Cuaca mereda, hujan berhenti, tapi Jakarta tetap banjir, giliran orang Bogor dan Depok yang disalahkan.
Dan juga saat mencuat masalah inkonsistensi, pemberian penghargaan dari Pemprov DKI Jakarta kepada DIskotek Collosseium Club 1001, pada saat itu masyarakat tau dan terbukti itu tempat adalah sarang transaksi narkoba. Ujung-ujungnya anies mengkambing hitamkan anak buahnnya.
Sudah menjadi tradisi dan karakternya, kayaknya. Salah menyalahkan ini sudah sering kali terjadi. Anak buah anies yang tidak terbiasa dan tidak dijadikan kambing hitam lagi, kompak mengundurkan diri dari jabatannya, atau tidak mau mengisi jabatan kosong yang ada.
Biasanya dan pada umummnya manusia akan berlomba mempertahankan jabatan, karena merasa ingin tetap mengabdi kepada daerahnya. Pada umummnya manusia ingin diberi kepercayaan lebih. Namun di bawah kebiasaan Anies, hal umum ini menjadi tidak berlaku.
Anak buah anies menjadi was-was dan berkaca pad amasa lalu. Pengalaman rekan-rekan mereka yang sudah banyak mengundurkan diri dengan alasan yang kesannya sangat normatif, namun kuat dugaan di dipublik, karena ketidakrelaan mereka akan menjadi tumbal dari satu sistem kerja yang amburadul dan hantam kromo.
Mulai dari Kepala BPBD DKI Subejo, Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman DKI Kelik Indriyanto, Lurah Jelambar Agung Tri Atmojo, Kepala Bappeda DKI Sri Mahendra, Plt Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Alberto Ali, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Edi Junaedi, Kepala Bapenda Tsani Annafari, dan yang teranyar Kepala BPAD Pujiono, pada 17 Mei kemaren.
Apakah ini sudah berhenti sampai di sini? Tidak ada yang tahu. Bisa saja urusan undur mengundurkan diri ini akan terus berlangsung, selama ada sosok-sosok yang mulai gelisah dengan gonjang-ganjing kursi penyidik yang ada di KPK.
Ini bukan perkara mudah. Harus ada yang diposisikan kembali sebagai cadangan kambing hitam. Kalau tidak, habislah! Tapi siapa? Masalahya, justru dua ratusan orang anak buah Anies ogah diangkat menempati jabatan-jabatan yang lebih tinggi. Mengikuti instruksi Anies untuk mendaftar seleksi terbuka, pun mereka enggan.
Padahal Anies sudah usahakan memberikan “tekanan” dan “intimidasi” berupa menjemur mereka di lapangan terbuka, di bawah terik matahari. Anies juga sudah mengeluarkan sedikit sikap marahnya, tapi mereka tetap tak bergeming.
Kambing hitam sudah terlanjur beranak rubah. Anak yang tadinya akan dimanfaatkan menjadi penjaga dibalik ancaman, justru sekarang mereka ketakukan dengan ancaman itu sendiri. Anies pun mulai panas dingin sekarang.
Discussion about this post