
Prof. Daniel Mohammad Rosyid Guru Besar ITS dalam wawancara dengan salah satu media mengatakan dirinya Pro Khilafah tapi mengaku bukan HTI. Sayangnya, sampai saat ini, pada saat aparatur sipil negara melawan ideologi negara dan menyebarkan fitnah kepada negara, mengapa dibiarkan begitu saja? Belum lagi dia menyebarkan hoax bahwa Covid-19 adalah senjata pembunuh massa untuk kepentingan politik.
Prof Daniel Mohammad Rosyid menyebut rezim sukses memanfaatkan Covid-19 sebagal ‘weapon of mass deception’ atau WMD ‘(senjata pembunuh massal)’ untuk kepentingan politik.
“Rezim sukses memanfaatkan pandemisasinya sebagai ‘weapon of mass deception’ ‘(senjata pembunuh massal)’ untuk kepentingan politik yang bisa membahayakan Republik;’ kata Guru Besar Institut Teknologi 10 November (ITS) Prof Daniel Mohammad Rosyid dalam artikel “Pandemisasi Covid-19: Born Demograf1?” seperti dilansir Suara Nasional, beberapa waktu lalu.
Kata Daniel, rezim berhasil menjadikan pandemisasi Covid19 WHO sebagai alasan bagus untuk tetap berkuasa di tengah pengangguran yang meningkat, kehancuran bisnis berbagai skala dan sektor, pemberantasan korupsi yg terpuruk dan hutang yang menggunung mencapai Rp.10kT. Bahkan wacana jabatan Presiden 3 periode sempat muncul malu-malu.
Daniel mengatakan, sulit untuk menolak kesan bahwa kelompok sekuler kiri radikal yang sok nasionalis yang bersembunyi di istana dan Senayan memperoleh umpan bagus dari BigPharma global untuk mencapai tiga misi utama : depopulasi, mengeruk duit dari bisnis vaksin dan menggembosi kebangkitan Islam yang terjadi di berbagai belahan dunia.
“Kematian akibat Covid-19 yang relatif rendah diam-diam akan dinaikkan sekaligus dengan merusak tubuh manusia dengan menginjeksikan material genetik (yang disebut sebagai vaksinasi) dari ampul sebagai bisnis yang lucrative. Ini bukan teori konspirasi, tapi konvergensi berbagai kepentingan dari berbagai freeriders untuk mengambil untung dari teror biologis ini,” papar Daniel.
Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Anak Bangsa, Rudi s Kamri menegaskan ini tuduhan yang sangat serius. Mengapa orang seperti ini yang bergerak sebagai guru besar di tehnik kelautan di ITS dibiarkan meraja lela tak tersentuh. Kemana para aparat?
“Ini jangan dibiarkan, karena narasi yang dibangun oleh seorang guru besar mempunyai pengaruh yang sangat besar,” ujar Rudi, dalam Kanal Anak Bangsa, Minggu (27/6/2021).
Orang hebar ini, anehnya pernah kena Covid-19 Desember lalu, bahkan dia mengatakan bagaimana dia kena Covid-19 dan menjabarkan bagaimana penderitaan dia ketika kena Covid-19, bahkan dia memberi tips untuk para petugas kesehatan.
Yang membingungkan adalah enam bulan kemudian, narasi dia berubah. Logikanya adalah jika orang yang sama memiliki dua narasi yang berbeda, berarti salah satu ada yang bohong. Narasi pertama, dapat dipercaya, karena dia menjabarkan dan menyertakan keterangan medis bahwa dia terpapar Covid-19. Artinya narasi kedua adalah hoax.
Diliahat dari sejarahnya, Guru Besar Tehnik Kelautan ini adalah salah satu orang yang menolak dibubarkan HTI. Entah dia HTI apa bukan, tapi dia pernah berucap kalau dia mendukung khilafah. Tapi intinya adalah, jika mendukung khilafah, baik itu masuk dalam keanggotaan HTI atau tidak, itu sama saja.
Berarti dia melawan idiologi negara pancasila. Itu artinya apa? Dia harus diberantas, seperti PKI dulu ditumpas. Sekarang ada orang yang terang-terangan yang mendukung khilafah, itu dibiarkan, ada apa dengan aparat keamana?
Kalau pendukung khilafah adalah masyarakat biasa, maka mungkin tidak ada pengaruh apa-apa. Tapi kalau seorang guru besar yang memiliki akses tinggi, itu akan bahaya. Pemerintah harus turun tangan. Tidak boleh dibiarkan, meski dia tidak masuk organisasi HTI.
Apalagi dia sudah membangun narasi bahwa Covid-19 ini tidak ada, hanya sebagai senjata politisi sebagai pembunuh massa. Ini tuduhan serius. Ditambah lagi dia mengikuti faham khilafah. Aparat tunggu apalagi?
Ini orang yang digaji negara tapi melawan negara. Orang yang makan dari pajak masyarakat tapi melawan idiologi negara. Ini harus aparat negara dan Rektor ITS, dan Ditjen Dikti, Menteri Kemendiktiristek harus bertindak.
Discussion about this post