Kalau bicara Gubernur DKI, Anies Baswedan memang tidak ada abisnya, ada aja kebodohan dia yang bikin jengkel. Masih lekat dalam ingatan, kebijakan Anies yang meminta bantuan warganya untuk memenuhi kebutuhan rusun Nagrak, Cilincing, Jakarta Utara untuk pasien Covid-19. Kemudian dibuat malu Bangsa Indonesia dengan Anies kirim surat ke Dubes Asing minta donatur membeli peralatan pel.
Bodohnya tidak tanggungung-tanggung, akhirnya Menteri Luar Negeri meminta maaf pada Dubes Asing atas kelakuan salah satu Gubernur Indonesia yang tingkat kebodohannya di luar batas. Akhirnya surat donasi itu di tarik dari semua kantor Kedutaan Asing. Penggalangan donasi para Kedubes asing pun ditutup.
Belum hilang rasa malu atas kelakuan Anies yang sudah mencoreng nama Indonesia. Dibuatnya, negara ini menjadi terkesan miskin di mata asing, padahal dana Covid-19 di DKI Jakarta tertinggi diantara seluruh wilayah, bayangkan Rp10,7 triliun, masa iya buat beli alat pel saja sampai ngemis?
Sekarang ini, terbongkar lagi kasus baru, Anies ternyata menghaburkan anggaran, sebagai kepala daerah selain tidak punya program, dia memang tidak bisa memprioritaskan kebutuhan. Coba, bagaimana tidak mengelus dada atas kelakuan Anies ini, dia belanja software Rp224,2 miliar. Rasa ingin memaki punya gubernur kaya gini. Giliran untuk kebutuhan yang tidak penting, mudah sekali dia menggelontorkan dana, tapi coba jika untuk kebutuhan warga yang sangat mendesak, dia minta sumbangan. Otakmu diletakkan di mana Nies!!!
“Belanja software Rp 224,2 miliar di tengah pandemi Covid-19 menunjukkan bahwa tidak ada prioritas dan transparansi dalam penganggaran,” kata anggota Fraksi PSI DKI August dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (3/7/2021).
Anggaran ini masuk dalam perencanaan milik Unit Pengelola Jakarta Smart City (JSC). Dalam APBD DKI 2021 tertera total pagu anggaran JSC Rp 463,82 miliar. Anggaran ini dipakai untuk pengembangan dan pengelolaan ekosistem provinsi cerdas dan kota cerdas.
Dari anggaran itu, PSI menyoroti tiga rencana kegiatan yang memakan dana terbanyak dengan total sekitar Rp 413 miliar. Rinciannya adalah pengadaan transformasi digital JSC (Rp 247,84 miliar), pengendalian banjir berbasis TIK (Rp 93,51 miliar), dan pengembangan infrastruktur JSC (Rp 72,17 miliar). Jika dilihat dari situs apbd.jakarta.go.id, anggaran Rp 247,84 miliar dan Rp 93,51 miliar bersumber dari dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Sejak awal, Pemprov DKI pimpinan Anies ini memang tak transparan soal peruntukkan anggaran tersebut. DKI tak menuliskan rincian penggunaan anggaran dalam situs apbd.jakarta.go.id. Selain itu, DKI juga tidak menjelaskannya kepada DPRD.
Di dalam rapat-rapat DPRD, pihak Pemprov DKI tidak mau menjelaskan tentang pengadaan, misalnya kebutuhannya untuk apa dan data yang akan dikelola seberapa besar. Di sisi lain, pemerintah DKI justru meminta bantuan masyarakat untuk menyediakan kebutuhan logistik di Rusun Nagrak, Cilincing, Jakarta Utara. Rusun ini dipakai sebagai lokasi isolasi pasien Covid-19.
Padahal, seharusnya Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tak perlu minta bantuan pihak lain mengingat besarnya APBD DKI 2021. Dengan APBD mencapai Rp 82,5 triliun, seharusnya Anies, dalam hal ini Pemprov DKI tidak perlu meminta bantuan ke pihak lain.
Pemprov DKI seharusnya menjalankan kesepakatan yang telah dibuat dengan Kementerian Sosial Kemensos menanggung warga DKI terdampak COVID-19. Pemprov DKI memperkirakan realisasi APBD 2020 hanya Rp 47 triliun dari rencana Rp 88 triliun. Berdasarkan situs dashboard-bpkd.jakarta.go.id, realisasi pendapatan saat ini sebesar Rp 15,4 triliun. Sesuai Pergub Nomor 28 Tahun 2020, Pemprov DKI menambah anggaran belanja tidak terduga (BTT) senilai Rp 844 miliar. Di dalamnya terdapat alokasi bansos untuk pembagian 4 tahap dengan nilai total Rp 747 miliar.
Pengalihan dana bansos menunjukkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Jakarta tambal sulam. Anggaran bansos tahap pertama sekitar Rp 187 miliar, masih tersisa dana Rp 560 miliar untuk 3 kali pembagian berikutnya. “Pertanyaannya, jika tidak digunakan untuk bansos, ke mana uang tersebut?”
Pengeluaran anggaran untuk kegiatan lain yang tidak penting dan tidak mendesak terus berjalan. Contohnya, pembangunan 6 Ruang Terbuka Hijau (RTH) senilai Rp 14,2 miliar yang terus berjalan. Ini menggambarkan Pemprov DKI tidak memiliki skala prioritas anggaran. Jika memang anggarannya kurang, Pemprov DKI bisa mendesak commitment fee Formula E tahun 2021 senilai Rp 200 miliar dikembalikan untuk biaya bansos. Bukan malah ngemis minta bantuan ke warga juga Kedubes Asing, pola pikir Anies kok ga sekelas kepala daerah.
Langkah pertama Anies harus lakukan adalah segera menyusun skala prioritas anggaran dengan jelas dan tegas, termasuk memaparkan detail realisasi anggaran penanganan COVID-19 sebesar Rp 10,6 triliun. Data realisasi belanja anggaran tidak transparan sehingga susah dimonitor. Anies harus jujur kepada rakyat perihal penggunaan anggaran, jangan sekedar lip-service.
Saat ini, di KPK sudah tidak ada lagi sepupunya bak raja kecil Novel Baswedan, saat ini pun dia lagi mengemis ke lembaga-lembaga dan orang-orang yang memihaknya untuk menolong dia tetap berada di KPK, jadi tidak akan bisa lagi melindungi Anies yang pinternya keblinger, Anies harus siap-siap mempertanggungjawabkan kemana saja anggaran-anggaran tersebut digunakan, karena KPK pasti sudah membidik Anies sebagai target berikutnya. Kalimat kelebihan bayar, kini tak bisa lagi digunakan dalam penyidikan KPK.
Discussion about this post