Polemik kasus 75 pegawai KPK yang tak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) masih juga belum usai. Novel Baswedan sang pemimpin pasukan masih terus “ngamen” mencari dukungan dan memancing di air keruh. Memanfaatkan kolega yang selama ini dibantunya untuk menyuarakan jerit hati dan ambisinya agar tetap menjadi bagian dari KPK.
Seakan tak peduli dengan pandemi Covid-19 yang semakin menggila di Indonesia, sepupu Anies pun memframing bahwa mereka adalah orang-orang terzolimi oleh KPK Pimpinan Firli Bahuri, KPK akan dikerdilkan, hanya dia yang hebat sebagai penyidik KPK, dan dia telah membuat KPK menjadi lembaga sekses penangkap koruptor. Padahal, program kerjanya tidak sesuai yang diharapkan pemerintah.
“Novel Baswedan CS jangan sibuk membahas ASN yang Tak Lulus TWK di KPK, bantu Pemerintah tanggulangi covid. Mari fokus bersatu mencegah peredaran covid 19, jangan sibuk membuang energi dengan pertikaian terkait TWK ASN di KPK, jika yang tak lulus tes Kebangsaan, silahkan ambil jalur hukum di PTUN. Jangan dipolitisasi hal-hal yang tak bermanfaat sehingga menambah polemik yang menyusahkan masyarakat,” ucap T.Rusli Ahmad Ketua DPP Santri Tani NU, Senin malam (5/7/21)
Komentar miring Novel pun semakin terdengar, karena apa yang terjadi di tubuh KPK kubu Novel sebenarnya sudah menjadi rahasia umum, ditambah kasus tebang pilih yang sudah menjadi momok, akibatnya jumlah rupiah kerugian negara yang dikembalikan untuk negara dari para koruptor jauh lebih sedikit dari dana operasional KPK. Bayangkan saja, pendanaan pemberantasan korupsi yang sudah 15 tahun dilakukan KPK ini sebesar Rp15 triliun tapi kerugian negara yang dikembalikan oleh KPK hanya Rp 3,4 triliun.
“Kerugian negara yang dikembalikan oleh KPK itu Rp3,4 triliun. Sedangkan anggaran KPK itu Rp15 triliun. Apakah anggaran negara dengan kerugian negara yang dikorupsi sudah optimal dikembalikan? Jauh,” ujar Politisi PDI Perjuanagan, Masinton Pasaribu, seperti dikutip dari jpnn.com, pada Selasa (8/10/2019)
Seharusnya, apa yang dilakukan KPK dapat lebih optimal. Sebab, parameter suksesnya penindakan korupsi itu dilihat dari pencegahan, penindakan, dan pengembalian kerugian negara. KPK cuma bisa menyadap, OTT, sadap, OTT. Mana pencegahan yang dilakukan KPK? Kerjanya terjebak rutinitas. Kerja sirkus. Saat Novel sebagai Kepala Penyidik lebih banyak melakukan OTT Kasus Penyuapan yang domainnya tidak menyentuh Arus Kas Negara. Artinya, sekitar 70 – 80 persen kasus-kasus yang ditangani mereka adalah kasus penyuapan. jadi itu tidak ada kerugian negaranya.
Kita bandingkan dengan Ketua KPK Firli Bahuri yang secara aklamasi menjadi Ketua KPK periode 2019-2023 oleh Komisi III DPR pada Jumat dini hari (13/9/2019), KPK telah menyelamatkan uang negara hingga Rp 90,5 triliun pada semester I atau enam bulan di tahun 2020. “Enam bulan terakhir, semester I 2020 di bidang pencegahan, KPK telah menyelamatkan keuangan negara kurang lebih Rp 10,4 triliun dan menambah pendapatan daerah melalui program peningkatan pendapatan asli daerah kurang lebih Rp 80,1 triliun,” kata Firli, dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR, seperti dikutip dari kompas.com, pada Senin (14/9/2020).
Seperti ini hasil kerja Firli dan Novel, masih layakkah Novel berteriak bahwa KPK besar karena ada dirinya? Tak malukah berteriak dia terbaik sebagai Kepala Penyidik? Pada intinya Novel cs sudah nyaman menduduki KPK. Dia raja kecil yang tidak bisa diganggung, seakan-akan posisinya lebih tinggi dari kepala negara.
Apapun yang diframing Novel cs, masyarakat sudah banyak paham bagaimana kerjanya. Tapi karena dua lembaga masih ada yang mendukungnya, yaitu ICW dan Komnas HAM, membuat Novel terus membuat drama dan ke sana ke sini mencari dukungan agar posisi dia yang dulu, singgasana kerajaan kecilnya kembali dia duduki.
Atas kelakuan dan tindakan Novel ini, banyak ahli hukum dan lembaga yang geram melihat kelakuan si mata satu, karena pada dasarnya Pimpinan KPK tidak bisa disalahkan terkait polemik TWK ini. Polemik TWK terkesan tidak selesai karena mereka yang tidak lulus tes tidak menempuh upaya hukum.
“Jadi KPK terus saja bekerja, fokus pada tugas penegakan hukum, abaikan perilaku pegawai yang tidak lulus dan Komnas HAM yang sama-sama salah jalur,” ujar Pakar Hukum Pidana, Petrus Selestinus dalam pernyataannya, Jumat(18/6/2021).
Dalam pelaksanaan TWK, KPK hanya menjalankan perintah Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019. Pelaksana teknisnya adalah Badan Kepegawaian Negara (BKN) dengan beberapa asesor. Artinya, KPK tidak terlibat langsung dalam pelaksanaan TWK. Sebetulnya isu TWK sudah selesai. Sudah jelas 75 pegawai KPK tidak lulus, tapi kemudian dikoreksi lagi jadi 51 pegawai atau sekira 5,4% dari total pegawai.
Namun, orang-orang yang tidak lulus TWK itu memilih bermanuver politik daripada membawa persoalan ini ke ranah hukum. Mereka ke PGI, ke MUI, ke Komnas HAM dan sebagainya. Itu hak mereka. Persoalannya sangat sederhana, tapi dibuat tidak sederhana. Segelintir orang yang tidak lulus TWK punya modal politik ketika Firli belum memimpin KPK. Mereka menyusun kekuatan. Mereka jalin hubungan dengan beberapa LSM, menjalin hubungan dengan beberapa media, dan juga dengan eks komisioner. Intinya mereka mau menguasai KPK. KPK distempel seolah-olah mereka dan mereka adalah KPK, itu kan enggak benar.
Firli Bahuri mengatakan lembaga yang dipimpinnya masih punya taring, meskipun kehilangan Novel Baswedan Cs yang tak lolos TWK. Secara statistik, 75 pegawai itu hanya 5,4 persen dari keseluruhan 1.351 pegawai KPK. “Mekanisme kerja KPK itu tidak tergantung pada orang per orang. Kita bekerja sesuai dengan sistem, kita bekerja sesuai dengan ketentuan undang-undang,” kata Firli, Kamis (3/6/2021).
Novel jangan merasa sok besar kepala, tak ada pengaruh apapun ketika dia keluar di KPK, bahkan kini jauh lebih baik. Jangan mempolitisi polemik KPK, jika masih tidak menerima keputusan tersebut sebaiknya tempuh jalur hukum. Jika Novel memang tetap ingin memberantas korupsi di Indonesia, tidak harus bergabung di KPK, bisa saja bergabung di ICW. Jadi semakin curiga, ada apa sebenarnya hingga Novel sebegitu ngotonya ingin terus berada di lingkungan KPK, padahal sudah tak diterima karena tak cinta Pancasila.
Discussion about this post