Di Jakarta, “ga ada loe ga rame”, ungkapan untuk Anies Baswedan, ada saja kebodohannya yang bisa dijadikan bahan tertawaan sejagat. Setelah sebelumnya minta sumbangan untuk perlengkan pel di Rukan Nagrak, Cilincing, Jakarta Utara untuk warga terpapar Covid-19 ke Kedubes Asing, lalu kejadian marah-marah diperusahaan asuransi yang masuk ruang lingkup usaha esensial. Ketika di klarifikasi salah satu TV swasta bukannya minta maaf malah pembawa acara kena marah dan disuruh mengadu ke PTUN. Luar biasa memang Anies ini.
Kalau bicara kerja, memang jauh dari harapan, begitu juga kalau bicara anggaran. Gubernur tergoblok sedunia ini paling pandai abiskan anggaran ini telah membuang ratusan miliar untuk program yang bongkar pasang karena tidak jelas. Beberapa waktu lalu ada temuan kelebihan bayar yang dilakukan Anies pada Damkar. Hasil pemeriksaan BPK mengungkap pembayaran item alat pemadam kebakaran pada empat paket proyek Dinas Damkar DKI Jakarta jumlahnya lebih rendah dari harga kontrak.
Dinas Damkar DKI Jakarta telah membayarkan biaya pengadaan empat paket ke perusahaan pemenang tender sesuai nilai kontrak. Empat paket yang dimaksud adalah unit submersible, unit quick response, unit penanggulangan kebakaran pada sarana transportasi massal, dan unit pengurai material kebakaran.
BPK mencatat nilai kelebihan bayar ini mencapai Rp 6,52 miliar. Adapun total alokasi anggaran belanja modal untuk program Dinas Damkar DKI Jakarta pada 2019 adalah Rp 321,24 miliar. Sedangkan realisasi anggaran untuk empat paket pengadaan ini Rp 303,14 miliar atau 94,37 persen.
Saat ini, tak kalah mengagetkan lagi adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat adanya kelebihan pembayaran subsidi mencapai Rp415,9 miliar oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kepada PT Transportasi Jakarta atau Transjakarta pada tahun anggaran 2018 dan 2019. BPK meminta direksi Transjakarta untuk memperhitungkan kelebihan bayar penghitungan subsidi PSO Tahun Buku 2018 dan 2019 dalam periode-periode tahun anggaran berikutnya. Temuan itu berasal dari ikhtisar hasil pemeriksaan semester II Tahun 2020 yang disahkan oleh Ketua BPK RI Agung Firman Sampurna beberapa waktu lalu.
“Pendapatan non-tiket Tahun Buku 2018 dan 2019 PT Transjakarta tidak diperhitungkan dalam pemberian subsidi public service obligation (PSO) layanan angkutan umum Transjakarta,” tulis laporan pemeriksaan itu seperti dilihat Bisnis, Jumat (9/7/2021).
Kelebihan bayar terjadi berulang, apakah ini disengaja atau sistemnya seperti itu. Transparansi anggaran di bawah kepemimpinan Anies buruk di perencanaan maupun realisasinya. Padahal sejak tahun 2017, DKI telah membuka anggaran sampai pada tahap komponen. Semua melalui website apbd.jakarta.go.id sejak fase RKPD, yaitu pada bulan Juni atau Juli tahun sebelumnya. Di situ masyarakat bisa mencermati rencana anggaran tahun depan, lalu terlibat aktif memberikan saran dan masukan selama masa pembahasan anggaran.
Namun, pada saat zaman kepemimpinan Anies, dokumen hanya dibuka setelah Gubernur dan DPRD selesai melakukan pembahasan dan bersepakat. Sehingga tidak ada masukan masyarakat yang bisa ditampung saat pembahasan anggaran. Artinya, warga hanya mengetahui anggaran setelah selesai dibahas, sehingga tidak memiliki ruang untuk menyampaikan saran dan masukan.
DKI Jakarta pun pernah mematikan laman bpkd.jakarta.go.id. Padahal, dari laman tersebut masyarakat bisa memantau keuangan di DKI Jakarta. “Sekitar 4 bulan yang lalu Pemprov DKI mematikan website dashboard. dengan alasan sedang maintenance. Melalui website ini warga bisa memantau realisasi anggaran tiap dinas secara real time. Karena website ini ditutup, maka kebocoran anggaran akan semakin susah terdeteksi oleh publik,” ujar Anggota Fraksi PSI Eneng Malianasari, Jumat (16/10/2020)
DKI Jakarta memiliki anggaran besar dibandingkan dengan provinsi lain, namun seorang Anies tak bisa mengelola anggaran itu dengan baik. Program-program yang dibuatnya pun selalu membuang anggaran. Padahal, kondisi perekonomian pada 2021 masih berat akibat pandemi covid. Oleh karena itu, Pemprov DKI harus menggunakan uang rakyat sehemat mungkin.
Ada beberapa pos belanja yang sangat boros. Salah satunya adalah belanja teknologi informasi di Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik (Kominfotik) sekitar Rp700 miliar, di antaranya untuk pengadaan server Rp107,3 miliar, software database Rp98 miliar, dan CCTV Rp22 miliar. “Dari analisa tim kami, anggaran sebesar itu bisa dipotong menjadi hanya Rp150 miliar sampai Rp200 miliar,” jelas anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta Bidang Pembangunan dan Infrastruktur Justin Untayana, Senin (4/1/2021).
Selain itu juga ada pengadaan tanaman di Dinas Pertamanan dan Hutan Kota sebesar Rp36 miliar. Anggota Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) itu menyebutkan, seharusnya anggaran ini bisa dihapus dan mengoptimalkan kebun bibit yang tersebar di 5 kota.
Kemudian, pada Dinas Sumber Daya Air (SDA) terdapat anggaran pembangunan sumur resapan sebesar Rp411 miliar. Hingga saat ini belum jelas di mana titik-titik pembangunan sumur resapan tersebut. Pemprov DKI harus menjelaskan kepada publik bagaimana kajian dampak pembangunan sumur resapan untuk mengatasi banjir. Jangan sampai hanya mengejar jumlah titik, namun ternyata tidak memiliki manfaat bagi masyarakat.
Ada pula anggaran sebesar Rp 172 miliar untuk penyelenggaraan event, iklan, dan promosi. Dana sebesar ini seharusnya bisa digunakan untuk program-program prioritas yang lebih mendesak, seperti banjir, kemacetan, dan sampah. Justin juga berharap ada percepatan revisi peraturan daerah tentang rata ruang. Pembangunan di Jakarta sangat cepat, namun Pemprov DKI terlambat melakukan revisi Perda Tata Ruang.
Anies memang tak mampu menjadi pemimpin DKI Jakarta. Tak memiliki program dan menghabiskan anggaran tanpa bisa mensejahterakan warga DKI Jakarta. KPK harus memproses dan Anies harus mempertanggungjawabkan atas ketidakmampuan dirinya.
Discussion about this post