Baru saja diumumkan PPKM diperpanjang sampai 25 Juli. Kalau tren positifnya terus melandai, kayanya setelah itu bakal dibuka pelan-pelan. Yang tampil tampil pada pengumuman PPKM itu langsung Presden Jokowi, ingin menjawab keresan publik, berdiri di depan siap menerima anah panah publik yang sudah diputuskan secara matang. Dalam situasi seperti ini memerlukan pemimpin yang bekerja, hadir, dan memikirkan semua aspek ekonomi maun kesehatan.
Kita merasa PPKM kemarin telah menjungkalkan banyak orang. Saat ekonomi mandek orang lebih berpikir soal isi perutnya, di sisi lain ruang rumah sakit terus berjubel. Malah halaman-halaman rumah sakit sudah penuh tenda menjadi ruang perawatan baru. Perpanjangan PPKM ini atau dampak PPKM ini memang jelas buat masyarakat, tinggal pemerintah memikirkan agar dampaknya bisa dikurangi, setidaknya program bagi-bagi untuk rakyat terus dilanjutkan, termasuk penangan sektor kesehatan.
“Kalau kita mau tau, pada awal 2020 sudah Rp1.400 triliun uang APBN dialokasikan untuk penanganan Covid-19. Misalnya untuk membeli APD, vaksin, membiayai rumah sakit , honor tenaga kesehatan, tunjuangan sosial, subsidi listrik, subsidi pulsa untuk pelajar dan mahasiswa, tujuannya aaar dampak pandemi bisa dikurangi, khsusunya buat rakyat kecil,” ujar Eko Kuntadhi, dalam Cokro Tv, Kamis (23/7/2021)
Tapi yang harus kita ingat adalah pemerintah pusat tidak bisa bekerja sendiri, yang tau kondisi rakyat di daerah adalah pemda, jadi apapun yang direncana pemerintah pusat, kalau pemdanya cuek saja ya korbannya adalah rakyat di daerah tersebut.
Sebagai pengatur lalu lintas keuangan, ternyata Menteri Keuangan Sri mulyani sudah banyak mengalokasikan dana APBN ke daerah, harapannya pemda-pemda sigap menyalurkan dananya lagi ke masyarakat. Sebagai pengetahuan, dalam kondisi normal saja, di luar pandemi, 1/3 APBN disalurkan ke daerah, ada yang berbentuk DAK, DAU, bagi hasil pajak, dana desa, insentif khusus. Sementara dalam kondisi pandemi ini, jumlah itu jauh lebih besar lagi dari 1/3. Sayangnya, uang di rekening pemda diabiarkan mandek. Pemdanya malas, duitnya ada tapi keluhannya segudang, apalagi birokrasinya rakus. Disinilah yang sering terjadi kendala. Para raja-raja kecil penguasa daerah yang kini duduk sebagai pimpinan daerah biasanya bekerja lelet, bahkan ada yang mencari kesempatan dalam kesempitan.
Saat ekonomi perlu putaran, di rekening Pemda masih ada Rp198 triliun uang yang mengendap dan yang seharusnya disalurkan. Bukannya dicairkan agar masyarakat bisa menikmati tetesannya , malah dipendem di bank. Kita tidak tahu apakah mereka akan menikmati bunga dan lainnya. Bayangkan anggaran untuk UMKM untuk seluruh daerah sekitar Rp13,3 triliun. Yang sudah disalurkan ke UMKM langsung baru Rp2,3 triliun. Sedangkan untuk perlindungan sosial ada anggaran dari pusat Rp12,1 triliun dan sudah direalisasikan baru Rp2 triliun. Lain lagi dengan Dana Desa, anggarannya Rp 72 triliun dan jumlah itu untuk bantuan bantuan tunai desa dianggarkan Rp 28 triliun, masalahnya yang sekarang baru cair ke masyarakat Rp5,6 triliun. Sisanya masih mengendap. pantas aja rakyat pada teriak, padahal uang dari pusat sudah disalurkan ke pemda, tapi entah kenapa tidak disalurkan secepatnya. Belum lagi daerah-daerah yang perencanaan keuangannya melenceng.
Misalnya kemarin di Jabar, dalam APBD 2021, mereka tidak memasukkan variabel kemungkinan Covid-19 gelombang kedua, sok yakin. Mangkanya sekarang Kang Emil ngeluh, uang mereka tidak cukup untuk mengantisipasi kondisi gelombang kedua yang luar biasa ini. Sedangkan kalau kita bicara tentang DKI emang bawaanya mau ngelus dada terus. DKI sering hambur-hamburkan uang. Misalnya ya kelebihan bayar saja jumlahnya sampai bermiliar-miliar.
Untuk kelebihan bayar transjakarta Rp415 miliar, kelebihan bayar proyek Damkar Rp6,5 miliar. Kelebihan bayar proyek PLTS di atas sekolah Rp 1,2 miliar. Seolalah-olah ini orang kaya kalau bayar kembaliannya tidak mau diambil. Beda lagi BP Formula E saja, sampai Rp560nmiliar. Plus bank garansi harus disiapkan Bank DKI Rp400 miliar. Mendekati satu triliun. Padahal sampai 2022 nanti nama Jakarta tidak masuk dalam list even penyelenggaraan Formula E. Tapi uang satu triliun sudah disetorkan. Pas DKI lagi butuh uang, misalnya rumah sakit Naggrak, yang terpapar Covid-19, mereka linglung, malah minta sumbangan ke Duta Besar Asing. Malu-maluin.
Jatim lain lagi, gubernurnya malah merayakan ualng tahun di tengah suasana pandemi. Mirip kaya Anies yang sowan ke Rizieq, padahal Rizieq baru pulang dari luar negeri mestinya karantina mandiri. Orang-orang seperti ini yang memprihatinkan bagaimana contoh dirinya buat pendidikan masyarakat agar patuh pada protokol kesehatan. Itu baru sebagai pelaku pemimpin kepala daerah.
Ada lagi kelas bupati dan wali kota di Karanganyar, amplop bansos dari pusat ada foto istri bupati, mungkin besok lagi mau pilkada, jadi istrinya mau menggantikan suaminya. Sedangkan Banjarnegara lain lagi, dia malah tidak peduli pada Covid-19. Ditengah suasana Covid-19, ia sempat nonton wayang golek dengan seluruh masyarakat.
Nah ulah pemimpin daerah seperti ini, memang banyak motifnya. Ada yang memang sengaja mereka seolah-olah instruksi pusat, karena alviliasi politik pemimpin daerahnya itu berasal dari partai oposisi, adanya yang tidak bisa kerja, ada juga yang mau cari untung, tapi sebagaian besar adalah yang pengecut, bersembunyi dengan keganasan wabah Covid-19, dengan harapan toh nanti yang akan dikritik pemerintah pusat. Yang akan jadi sasaran ketidak becusan mereka adalah Presiden Jokowi, jadi mereka adalah pemimpin pengecut. Dan yang paling sial kalau kepala daerahnya sejenis kadrun kelas kakap. Mereka selalu melakukan perbuatan yang memuakkan. Ketika vaksin di genjarkan, Sri Mulyani sudah menggelontorkan dana ke pemda-pemda agar mereka menvaksinasi masyarakat mengejar target 2 juta vaksin per hari. Wajar sih, pemda kan punya RSUD, Puskesmas, Dinkes, tapi masalahnya tidak jalan..
Pejabat pemda malah sibuk ngurus proyek ketimbang mengurus masyarakat sehat. Akhirnya Menteri Keuangan menarik lagi uangnya dan dialihkan kepada TNI, Polri yang sistemnya komando dan mereka bergerak cepat untuk melakukan program vaksinasi. Dan honor tenaga kesehatan sudah cair, tapi sekali lagi uangnya mendem di saluran-salrannya. Itu yang membuat nakes-nakes frustasi uang mereka tidak cair-cair, padahal pusat sudah mencairkan tapi tidak didistribusi. Walhasil dalam keadaan ini otonomi daerah dengan mentalistas birokrasi pemda yang babak belur menjadi salah satu penghambat penyelesaian masalah. Para kepala daerah itu terkesan tidak perduli dan tidak menerima kenyataan bahwa kita sedang menghadapi pandemi. Emang tidak semua pemda tidak semperti itu, Misalnya Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo, setiap hari keliling mengunjungi herganya, rumah sakit, dan koordasi kepala daerah. Tapi seberapa banyak kepala daerah seperti itu yang memperhatikan rakyatnya dengna benar,
Bial kondisi kaya gini terus kita memang masih akan sangat lama keluar dari kungkungan pandemi seperti ini. Jokowi memang presiden tapi dia tidak bisa bekerja sendiri, begitu juga para menteri ga bisa bekerja sendiri. Para pemimpin daerah mestinya juga bertanggung jawab terhadap rakyat di wilayahnya dan bekerja lebih kerras. Jangan hanya tumpahkan masalahnya ke seorang Jokowo sendiri.
Kepala daerah ini sudah banyak menikamti fasilitas dari rakyat. Saat ini rakyat butuh kerja keras dan perhatian. Agar semua hidup kembali normal, jika sudah silahkan kembali kepada kelakuan sebelumnya, terserah. itu bukan urusan rakyat lagi, paling urusannya sama KPK, jadi kita berharap presiden harus disuport kepala daerah dan semua birokrasi harus bekerja. Jangan biarkan kita semua berkorban menjadi untuk diri sendiri.
Discussion about this post