Partai Demokrat menyatakan dirinya perang melawan buzzer. Seperti Indonesia seperti sudah darurat, sampai sebuah partai politik yang pernah berkuasa, sekarang mau main perang-perangan di media sosial. Dan repotnya, musuh yang mereka pilih sangat lucu, buzzer!!
Seperti dikatakan Eko Kuntadhi, dalam tayangan Youtube CokroTV, pada Jumat (30/7/2021). Pertanyaannya, apa masalahnya sampai partai yang pernah dua periode berkuasa itu sampai harus mendeklarasikan perang? Kenapa mereka begitu terusik dengan cocotan di media sosial, sampai Ibas harus menyingsingkan lengan panjangnya untuk berperang?
Tapi tampaknya memang, ada masalah dalam kacamata mereka melihat fenomena medsos belakangan ini. Medsos ini sekarang membuka ruang semua orang untuk bersuara. Seluruh dunia, orang yang punya akun bisa bersuara bebas. Mulai dari Profesor di Chicago sampai tukang bubur di Cikaso sama, mereka bisa punya ruang untuk bersuara. Mereka meyampaikan pendapatnya sendiri, di akun media sosialnya sendiri.
Dulu zaman SBY, bapaknya Agus, memang sudah ada medsos, tapi belum seaktif sekarang. Bapaknya Agus bisa melanggeng berkuasa dengan segala masalah yang mengikutinya, sementara kita, publik gak punya saluran efektif untuk speak up.
Kini pengguna internet di Indonesia jumlahnya sudah 197 juta orang. Dari jumlah itu, sekitar 97% punya medsos. Apalagi ditambah kecepatan data di Indonesia terus meningkat. Sementara, zaman Pepo berkuasa, Menteri Kominfo, Tifakul Sembiring, dia sering mempertanyakan buat apa internet cepat? Mungkin saja di kepalanya Tifakul, internet cepat itu gunanya hanya untuk menonton film porno saja, bukan untuk hal lain.
Sekarang zamannya Jokowi, internet cepat itu penting sebagai salah satu katalisator pergerak ekonomi. Fasilitas dan infrastruktur internet dibangun. Lalu lintas internet makin marak dan sekarang semua orang bisa eksis di medsosnya masing-masing. Pengguna internet terbanyak adalah penonton Youtube, baru pengguna WA, Facebook, Intagram, dan Twitter.
Awalnya, medsos ini hanya digunakan jadi ajang pamer makan di mana, lagi ngapain, foto-foto arisan, sampai foto-foto narsis dengan mimik monyong-monyong segala. Tapi tidak cukup hanya begitu. Kini medsos juga dijadikan ajang setiap orang menampilkan pikirannya sendiri, menyuarakan aspirasi sendiri. Mereka sekaligus menjadi publik yang mendinamisasi problem-problem politik di tanah air.
“Akibatnya memang, dunia medsos di Indonesia riuh sekali. Kebiasaan masyarakat yang kepo membuat seru suasana. Dan dunia politik jadi sarana baru orang untuk menunjukkan afiliasi politiknya. Kita ga perlu malu-malu untuk menunjukkan dukungan pada Pak Jokowi misalnya, atau dukungan pada Pak Ahok, atau dukungan pada politisi-politisi lainnya. Dan itu sah-sah saja, namanya ruang demokrasi,” papar Eko
Medsos ini juga yang digunakan para politisi seperti Agus, Andi Arief, Ibas untuk menyampaikan pendapat-pendapatnya. Masalnya ketika semua orang bisa menyampaikan pendapatnya dan orang bebas bersauara, suara para politisi itu kan juga langsung direspon oleh publik. Misalnya Demokrat, ketika mereka rajin mengkritik Jokowi, lalu publik merespon dengan membandingkan apa yang sudah dihasilkan Pepo selama berkuasa? dan itu sah-sah saja.
Saat ada reaksi balik dari publik itulah para elit Demokrat tidak siap. Mereka gagap menghadapi badai reaksi publik. Lalu mereka menstempel semua orang yang berbeda dengannya sebagai buzzer. Ini yang lucu. jadi, kalau Andi Arief ketangkap menggunakan narkoba dengan bukti kondom bergerigi dan Anda mempertanyakan kenapa, petinggi partai ulahnya kaya gitu. Anda akan langsung dituding buzzer oleh orang-orang Demokrat. Kalau Annisa Pohan salah mengutip ayat Al-Quran, lalu ada orang merespons, bahwa tulisan Annisa itu salah, Ayatnya kelebihan. Anda akan dituding buzzer oleh Partai Demokrat.
Ketika Ibas bilang bahwa ekonomi Indonesia sedang terpuruk. Lalu dengan lantang dia menyalahkan Jokowi. Padahal seluruh dunia juga ekonominya terpuruk karena pandemi. Karena itu Anda ingin meluruskan pernyataan tersebut. Maka Anda akan dituding sebagai buzzer. Ketika Andi Arief bilang bahwa pemerintah SBY adalah yang terbaik. Sementara semua rakyat juga tau ada puluhan proyek mangkrak yang tak berguna. Pada saat bersamaan, Anda akan dituding sebagai buzzer.
Begitu pun ketika Ibas menampilkan foto sedang baca buku setebal batu bata sambil berdiri dengan tangan seperti memegang tissu toilet, terkesan jijik begitu. Dan Anda tertawa terbahak-bahak melihat gaya Ibas yang lucu itu, maka Anda akan dicap sebagai buzzer. Ketika Anda menyerukan para mahasiswa tidak usah turun ke jalan, karena suasana sedang pandemi, dan itu berbahaya buat kondisi saat ini. Sementara petinggi partai Demokrat berharap sebaliknya. Seperti mendorong-dorong unjuk rasa besar untuk menjatuhkan Presiden Jokowi, Anda yang rasional seperti itu, yang berharap jangan sampai virus menyebar, maka akan dicap sebagai buzzer oleh Partai Demokrat.
Jadi siapa saja yang menentang pikiran-pikiran dan ulah petinggi Partai Demokrat yang makin ke sini makin ucu, maka Anda akan dicap sebagai buzzer. Dan Anda semua inilah, orang-orang yang mau bersuara di medsos dengan bebas yang secara bebas mau menikmati berkah demokrasi adalah orang-orang yang mau diperangi oleh Partai Demokrat. Sebab, mereka tidak terbiasa ditelanjangi sama publik. Selama berkuasa hidup mereka seperti di menara gading penuh puji-pujian, dikipas kanan kiri. Jadi mereka kaget kalau ternyata rakyat Indonesia tidak sebodoh seperti persangkaan mereka.
Sekarang, dengan statemen Partai Demokrat mau memerangi buzzer, itu artinya mereka mau memerangi kita semua. Orang-orang yang berusaha merawat akal sehat publik dengan media sosial kita masing-masing. Agar Indonesia tidak terjermbab lagi pada model pemerintahan lama. yang doyan bagi-bagi yang mangkrak di mana-mana, yang sukanya bikin candi yang sama sekali ga efektif. Dan yang “Katakan tidak, padahal bohong…” “Kita Prihatin!”.
Discussion about this post