Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat menolak gugatan yang diajukan Ketua Umum (Ketum) Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (Agus) terkait aktivitas penyelenggaraan Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat yang digelar di Deliserdang, Medan, Sumatera Utara pada 5 Maret 2021 lalu.
Putusan tersebut dibacakan Kamis (12/8) sore oleh Ketua Majelis Hakim Syaifudin Zuhri. Majelis hakim menyatakan putusan perkara Nomor 236/Pdt.G/2021/PN.JKT.PST itu tidak dapat diterima karena Agus sebagai penggugat beritikad tidak baik lantaran tidak pernah menghadiri sidang mediasi. “Memutuskan gugatan (AHY) tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard),” ujar Majelis Hakim dalam putusannya.
Menanggapi hal ini, Juru Bicara DPP Partai Demokrat pimpinan Moeldoko, Muhammad Rahmad sangat mengapresiasi putusan tersebut. Ini menjadi bukti bahwa tuduhan kubu AHY terhadap KLB Deliserdang tidak terbukti dan hanya mengada-ada. “Kubu AHY tak perlu pula panik dan asal tuduh. Pengadilan adalah muara tempat menyelesaikan persoalan hukum. Karena itu, mari sama sama kita hargai. Ronde kedua di PTUN juga sudah menunggu,” kata Rahmad dalam keterangannya, Jumat (13/8/2021).
Putusan ini adalah kunci untuk memenangkan gugatan keabsahan KLB Partai Demokrat di PTUN. Dengan putusan ini, semua pihak dapat menyaksikan penyelenggaraan KLB Demokrat di Sibolagit adalah sah secara hukum. Penggunaan atribut Partai Demokrat oleh DPP Partai Demokrat KLB Deli Serdang juga sah secara hukum. Keabsahan itu akan paripurna ketika nanti sudah ada putusan inkrah pengadilan.
Semua pihak perlu membuka mata bahwa pengelolaan partai oleh Pepo, Agus, dan keluarganya memang bermasalah dan menabrak konstitusi. AD/ART partai 2020 dibuat tanpa persetujuan anggota di forum kongres. Itu adalah AD/ART siluman yang mencantumkan Pepo sebagai pendiri partai padahal menurut akta pendirian partai, Pepo bukanlah pendiri partai. AD/ART 2020 itu juga menjadikan Pepo bersama anak-anaknya menjadi penguasa tunggal di dalam partai. Itu sangat bertentangan dengan cita cita Reformasi 1998 dan sangat bertentangan dengan gelar yang disandang Pepo sebagai Bapak Demokrasi Indonesia. Seorang demokrat hendaklah demokratis, tidak otokrasi dan tidak pula tirani.
Seperti ditulis di mudanews.com, kisruh Demokrat sangat menarik. Serangan gencar Pepo dan Agus awalnya dilihat oleh publik sebagai ambisi Moeldoko untuk merebut Demokrat. Analisis intelijen membongkar alasan dibalik serangan Pepo-Agus terhadap Jokowi dan Moeldoko, seperti yang diungkapkan pengamat politik, pegiat media dan media sosial Ninoy Karundeng.
“SBY sebagai aktor dan dirigen kisruh Demokrat berhasil menghasut publik. Internal Demokrat Jhonny Allen Marbun, Darmizal, Muhammad Nazaruddin muncul melawan SBY. Publik, media dan media sosial pun terpecah. Mayoritas menghujat Jokowi dan Moeldoko,” papar Ninoy Karundeng.
Tak sembarangan Pepo menetapkan target serangan, Moeldoko dianggap oleh Pepo sebagai center of gravity kekuasaan Jokowi harus dibusukkan. Moeldoko mantan Panglima TNI, Ketua Umum HKTI, dan Kepala Staff Kepresidenan (KSP). Pepo memasang jebakan Batman pada Moeldoko. Karena lingkaran tidak seteril membuat Moeldoko terjerat. Strategi media pun mumpuni, diksi kata KSP di depan nama Moeldoko sengaja dipilih Pepo-Agus adalah unsur paling mematikan. Pepo berhasil menggiring publik membenci Moeldoko dan Jokowi.
Janji surga diberikan para pembelot Demokat pada Moeldoko. Lahirlah Kongres Luar Biasa (KLB) Deli Serdang. Moeldoko menjadi Ketum Demokrat setelah menekankan kepada para peserta KLB tentang legalitas KLB. Jawabannya: sah. Bodong hasilnya. Akibatnya, kehancuran total nama Jokowi dan Moeldoko. Mereka terperangkap dalam gerakan siasat culas Pepo dan Demokrat. Bukan Jokowi atau Moeldoko jika tidak bisa keluar dari kerikil Pepo. Perusakan nama harus dibersihkan. Sterilisasi internal Moeldoko dan Jokowi terjadi.
Instink intelijen Jokowi dan Moeldoko bergerak. Pembusukan nama Moeldoko sejatinya adalah pintu masuk untuk menghancurkan Jokowi. Ada alasan dan fakta mengapa Pepo-Agus menggunakan Moeldoko sebagai basis serangan untuk melengserkan Jokowi. Pepo takut kebusukan dirinya untuk menguasai secara permanen Partai Demokrat terkuak di publik dan internal Demokrat. Untuk menarik dukungan publik, Pepo memanfaatkan sentimen kebencian, hoaks, fitnah, di luar Demokrat.
Harus diakui KLB Deli Serdang tidak sah. MenkumHAM menolak KLB tersebut. Sementara informasi awal ke Moeldoko menyatakan KLB sah. Artinya, ada informasi yang tidak sinkron, salah. Namun, temuan intelijen yang meluruskan kisruh Demokrat membuat pendukung Jokowi sadar. Mulanya mereka terpecah oleh aksi akal bulus playing victim Pepo. Moeldoko dan Jokowi bergerak masif untuk meluruskan persepsi publik yang telanjur hancur akibat ulah Pepo-Agus. Muncul fakta-fakta yang mencengangkan.
Analis intelijen milik Pepo membuat catatan pendek. Pepo harus menyerang Jokowi, karena Jokowi akan melakukan gerakan sapu bersih terkait dengan asset negara Cendana dan Cikeas. Terbukti belakangan Jokowi sudah merampas TMII. Celakanya di Istana ada bemper Jokowi yakni Moeldoko. Pepo melihat Moeldoko ini sebagai center of gravity Jokowi. Bahkan dengan menargetkan Moeldoko, upaya menyerang Jokowi juga tercapai.
Pepo mendapatkan dukungan dari kaum radikal HTI, teroris FPI, dan gerakan khilafah serta Wahabi. Munarman dan eks FPI mendukung Demokrat AHY. Bambang Widjajanto dan gerbong Anies Baswedan merapat ke Pepo. Dia tidak mengutuk serangan tersebut. Jika mengutuk akan kehilangan dukungan kaum intoleran. Jusuf Kalla, sekondan Pepo, mengompori teroris untuk beraksi: Mabes Polri diserang. Sementara Moeldoko mengutuk keras serangan tersebut.
Maka menjadi sahih dan pas Moeldoko dan Jokowi bergerak cepat. Pembusukan terhadap mereka disambut dengan langkah strategis untuk melawan Pepo. Pepo selama 10 tahun berkuasa dan bahkan sampai kini tetap membesarkan kaum intoleran HTI, FPI. Bukti lain tentang keterkaitan Demokrat dengan kaum intoleran. Kasus Jaran Kepang di Sumut. Moeldoko mengecam keras. Aksi intoleransi mengancam Bhineka Tunggal Ika pun tidak dikecam oleh Agus dan Pepo. Karena jika mereka mengecam, akan kehilangan dukungan dari kelompok radikal, intoleran dan teroris.
Dan, sekali lagi Moeldoko sebagai benteng Jokowi, benteng NKRI, adalah salah satu jenderal yang ditakuti oleh Gatot Nurmantyo selain AM Hendropriyono. Tanpa mereka sepak terjang kaum radikal, teroris, dan HTI akan merajalela. Lagi-lagi Pepo paham soal ini, benar di benaknya, Moeldoko harus disingkirkan dari Istana.
Pepo adalah bagian dari kaum radikal, mendapat dukungan dari Munarman FPI, kaum intoleran yang secara bersama-sama akan menjungkalkan Jokowi dengan serangkaian fitnah Pepo dan Agus terhadap Jokowi. Publik menjadi paham bahwa justru Moeldoko harus mengambil Demokrat, agar skenario Demokrat gagal mengusung capres intoleran dan dekat dengan Jusuf Kalla seperti Anies Baswedan. Moeldoko berhasil membuka kedok konspirasi Pepo-kaum radikal.
Discussion about this post