Polemik Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berkepanjangan. Jika dilihat dari perspektif politik, ada pihak yang hendak menjadikannya sebagai panggung besar yang ramai dan lama.
“Ini ibarat satu panggung kecil. Karena ini perkara kecil. Saya membacanya panggung ini ingin dibuat ramai. Di atas panggung itu ada yang pro kontra mereka tidak terlalu peduli,” ucap Sekjen Partai Gelora Indonesia, Mahfudz Siddiq, dalam webinar series Moya Institute bertajuk ‘Kontroversi Temuan TWK 51 Pegawai KPK’ di Jakarta, Jumat (13/8).
TWK diadakan Badan Kepegawaian Negara (BKN) untuk menjadikan pegawai KPK berstatus aparatur sipil negara (ASN). Dalam perjalanannya, ada 75 pegawai KPK yang tidak lolos, hingga menyedot perhatian publik. Dari 75 pegawai, ternyata 51 orang diberhentikan, yang membuat mereka menggugat pelaksanaan TWK.
Ini memang layak dicurigai, masalah TWK tujuannya bukan agar pegawai yang tak lolos kembali ke KPK. Dia menuding, pihak tertentu ingin panggung ini dibikin ramai dan panjang sampai 2024. Dia menyinggung ketika ada pegawai KPK yang melaporkan hasil TWK ke Komnas HAM pada 27 Mei 2021.
Salah seorang dari mereka mengatakan persoalan ini akan selesai kalau presiden pro terhadap pemberantasan korupsi. Jadi, intinya panggung ini akan dibikin panjang, orang diundang ramai-ramai. Sehingga salah satu isu kontestasinya di 2024 yaitu mana yang pro pemberantasan korupsi atau tidak pro.
Direktur Eksekutif Moya Institute, Hery Sucipto menilai, masalah TWK sudah hampir selesai ketika tereleminasinya 51 orang pegawai KPK dari alih status ASN dan yang sebagian lulus. “Ternyata polemik tidak sampai di situ setelah ada temuan Ombudsman, di mana hasilnya ada malaadministrasi dan rekomendasinya meminta agar ada koreksi terhadap 51 pegawai KPK yang tidak lulus untuk diangkat,” ucap Hery.
Selain itu, mereka meminta Presiden Jokowi untuk turun tangan. Sebagai orang awam hukum, ia mengaku, lebih banyak menyimak. Jka kita terlalu larut dengan polemik ini, tidak produktif di tengah upaya bangsa kita memutus mata rantai penyebaran Covid-19.
Sikap Novel Baswedan yang seolah mengadu domba lembaga negara antara KPK dan Ombudsman justru dianggap memperlihatkan sifat iri dan dengki. Novel tidak bisa melihat KPK saat ini kuat lewat UU N0 19/2019. Disamping itu, masih ngototnya Novel Baswedan agar bisa diloloskan sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) justru secara gamblang mempertontonkan ketidakkonsistennya yang sejak awal menolak UU 19/2019. Dimana dalam UU tersebut diamanhkan bahwa pegawai KPK haruslah berstatus ASN.
“NB tidak konsisten terhadap penolakan terhadap UU No 19/2019, padahal ada beberapa pegawai KPK yang menolak dari awal bahkan menolak TWK juga. Itu tindakan lebih terhormat dibandingkan NB,” ujar Direktur Eksekutif Studi Demokrasi Rakyat (SDR) Hari Purwanto kepada Kantor Berita Politik RMOL, Senin (9/8/2021).
Sepertinya Novel memang ingin menggoreng masalah TWK ini hingga 2024 nanti, karena isu ini memang masih menarik untuk terus menjadi bahan gorengan. Mungkin menurut Novel, kasus TWK ini akan laku untuk dijual di saat Pilpres nanti, tapi dia lupa, rakyat Indonesia sudah banyak yang lebih peka, apalagi seorang Novel yang terus ngotot ingin bergabung di KPK. Salah satunya bisa menyuburkan kasus tebang pilih, yang dapat menangkap koruptor sekaligus menambah pundi-pondi para kadrun.
Discussion about this post