Baru-baru ini puja-puji partai koalisi terhadap pemerintahan Jokowi dipandang sebaliknya dengan PKS. Dengan alasan sebagai partai oposisi, PKS melalui Mardani Ali Sera mengatakan akan terus melihat sisi negatif pemerintahan Jokowi agar tak puas diri. Begitu kira-kira narasinya.
Sebelum kita lebih dalam masuk sesuai tema, saya mencoba mengungkap fakta agar Anda mendapat gambarannya mengapa PKS sangat konsisten sebagai oposisi pemerintah. Berkah apa yang didapat.
PKS ini di wilayah-wilayah tertentu mereka mendapat tempat oleh warga. Contoh semisal Sumatera Barat di daerah ini PKS bisa dikatakan sangat perkasa. Fakta yang dapat kita lihat gubernur Iwan Prayitno dan kemudian Mahyeldi adalah produk-produk dari PKS.
Selain PKS ada pula partai Gerindra yang sangat perkasa di daerah ini. Sebagai gambaran agar Anda tahu saya mencoba memberikan data di tahun 2019 saat pilpres.
Sumbar saat itu adalah lumbung suara bagi calon Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang diusung Koalisi Indonesia Adil Makmur. Berdasarkan Situng KPU yang telah menghimpun 92,27 data suara Pilpres 2019 di Sumbar kala itu, Prabowo-Sandi unggul telak dengan 86,2 persen, sedangkan Jokowi-Amin hanya kebagian 13,8 persen. Terlihat sangat jomplang sekali bukan?
Maka tidak mengherankan jika partai-partai pengusung Jokowi tak terlihat diminati di daerah ini. Dan seperti yang sudah dapat kita tebak partai yang laris di Sumatera Barat antara lain Gerindra, PKS, Demokrat dan PAN. Sebagai gambaran data berikut sebagai penguat fakta, suara Pemilu Legislatif DPRD Provinsi Sumatra Barat 2019:
Gerindra 19,57 persen, PKS 18,03 Persen, Partai Demokrat 12,1 persen, PAN 11,88 persen, Golkar 8,5 persen, PPP 6 persen, Nasdem 4,73 persen, PDIP 3,71 persen, Hanura 3,49 persen, PKB 3,04 persen, Berkarya 2,6 persen, PBB 2,21 persen.
Sangat terlihat partai yang saat itu direpresentasikan lawan Jokowi akan memperoleh limpahan suara yang melimpah. Sebaliknya sedang PDIP yang diidentikkan Jokowi dan partai koalisi perolehan suara sangat kecil sekali. Selain Sumbar, PKS juga cukup perkasa di Jawa Barat. Di wilayah yang terbilang padat penduduk ini PKS bisa tembus tiga besar di pileg tahun 2019. Sedang jawaranya Gerindra yang mengalahkan dominasi PDIP yang kedua.
PKS sebagai partai oposisi tentu akan terus mengkritisi pemerintahan Jokowi. Meski untuk saat ini praktis hanya PKS dan Demokrat yang menjadi lawan politik Jokowi. Mengingat partai lainnya bergabung di koalisi pemerintah selain Gerindra yang menyusul belakangan ada pula PAN.
Di situasi inilah PKS mencoba mengumpulkan suara-suara konstituen yang membenci Jokowi. Bisa menjadi berkah atau sebaliknya. Bagi ‘mereka’ tak ada sisi positif dari pemerintahan. Prestasi apapun yang sudah dibuat Jokowi dan pemerintahannya akan dilihat dari sudut yang berbeda. Dan ini yang sangat berbahaya. Jika narasinya mengada-ada.
Dibanyak kesempatan saya selalu mengatakan, partai oposisi atau tokoh-tokoh yang bersebrangan dengan Jokowi atau pemerintah merupakan perwakilan kelompok yang tidak menyukai keberadaan Jokowi dan orang-orang di sekelilingnya. Inilah yang dapat kita sebut sebagai kelompok pembenci.
Jadi tidaklah mengherankan jika PKS salah satu partai yang diidentikkan menampung para pembenci seantereo negeri. Semakin kritis bahkan nyinyir sekalipun terhadap pemerintahan Jokowi maka ‘mereka’ semakin disukai oleh para konstituennya tersebut.
Tentu saja keputusan PKS yang akan terus mengkritsi pemerintahan dan menjadi oposisi tak ada yang salah. Memang harus ada partai sebagai penyeimbang di negara demokrasi. Selama sisi negatif yang mereka maksudkan tidak mengada-ada seperti yang sudah saya singgung di atas.
Tapi faktanya banyak yang lepas dari konteks. Hanya karena ingin mengukuhkan diri sebagai sarang penampung para pembenci. Lantas menggunakan berbagai cara. Nah, ini yang disesalkan. Jadi tidaklah mengherankan jika polarisasi terus terjaga sampai detik ini.
Padahal upaya presiden Jokowi cukup ciamik, melihat gelagat rakyatnya yang sulit sekali move on dari pilpres. Dengan menggandeng Gerindra lalu PAN. Jokowi berusaha mengembalikan pesta demokrasi seperti dulu kala, sebelum ia berkuasa. Ia dengan niat tulus membersihkan residu yang tertinggal tapi sayang ada pihak yang justru ingin kondisi mengekal.
Jika situasi ini terus terjaga dikuatirkan di pemilu 2024 dan seterusnya praktik-praktik busuk saling membenturkan rakyat akan terus ada. Dan orang-orang yang paling bertanggung jawab tentunya para elit politik yang sebetulnya sedang memanfaatkan rakyat jelata demi kepentngan kelompok dan perutnya sendiri. Rakyat hanya diperalat sebagai tunggangan mencapai tujuan.
Discussion about this post