Berbicara soal kerja senyap dalam mengatasi banjir, sepertinya tidak lepas dari omongan manis dari Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Dirinya mengatakan sebagian titik banjir di Jakarta sudah surut karena jajarannya bekerja senyap hingga tuntas. Dia mengatakan dampak hujan ekstrem di Jakarta bisa tertangani dengan cepat.
“Jakarta dilanda hujan ekstrem tapi bisa ditangani cepat. Kenapa? Atas izin Allah. Kerja sistematis dan kerja cepat itu membuatkan hasil! Banjir di sejumlah wilayah Ibu Kota pada Selasa kemarin, 18 Februari 2022, adalah akibat hujan dengan intensitas ekstrem yang terjadi,” kata Anies.
Menurut Sekretaris Dinas Sumber Daya Air (SDA) DKI Jakarta Dudi Gardesi Asikin, kerja senyap diartikan para petugas langsung memantau apa yang terjadi di lapangan dan bertindak tanpa perlu disuruh. “Maksudnya kami bekerja terus, dalam artian tidak usah diperintahkan baru jalan,” katanya.
Dinas SDA DKI telah merumuskan SOP petugas lapangan untuk menanggulangi banjir. “Sehingga apabila hujan sudah selesai, pasang sudah turun, luapan kali sudah selesai, daerah yang tergenang itu harus segera kami keringkan,” kata dia.
Kalau soal kerja senyap, rasanya lebih tepat kalau ditujukan kepada presiden Jokowi. Tidak banyak ngomong dan pencitraan, tiba-tiba sudah jadi. Hari ini resmikan ini, besok-besok tanpa ada kabar langsung resmikan itu. Kerja senyap, diam dan tanpa banyak bicara, begitu jadi baru diumumkan. Sedikit berbicara, banyak bekerja.
Kalau kerja senyap ala Anies sepertinya sangat berbeda. Senyap, tahu-tahu pohon Monas ditebang. Ditanya soal keberadaan pohonnya, jawaban diputar-putar dan tidak ada kejelasan. Senyap, tahu-tahu muncul isu kelebihan bayar, dan berulang kali pula.
Lucunya lagi, Anies mengatakan curah hujan di kawasan Kemayoran pada Selasa kemarin mencapai 204 mm. Kemudian di Teluk Gong mencapai 193 mm dan di Kelapa Gading 163 mm. Dia menyebut curah hujan di atas 150 mm masuk dalam kriteria kondisi ekstrem. Anies lalu menjelaskan kapasitas drainase di Jakarta hanya 50 sampai 100 mm.
Ini logika yang sangat mudah. Masalahnya ada di kapasitas atau daya tampung drainase. Harusnya drainase diupgrade agar bisa menampung lebih banyak air.
Yang anehnya, sumur resapan itu gunanya apa kalau air hujan disedot pakai pompa dialirkan ke sungai agar cepat surut? Berarti masalahnya ada di drainase yang daya tampungnya tidak besar. Harusnya Anies fokus memaksimalkan daya tampungnya.
Kalau alasan tidak bisa lagi perbesar daya tampung drainase, kenapa sumur resapan bisa dibuat meski hancur-hancuran? Malah jalanan dibongkar dan jadi hancur. Itu pun bisa dibuat. Masa renovasi drainase tidak bisa?
Tapi Anies malah membuat sumur resapan yang bukan hanya boroskan anggaran dan merusak jalam, tapi juga tidak berguna saat curah hujan ekstrim. Drainase saja tidak sanggup menampung air hujan yang deras, apalagi cuma sumur resapan yang kedalamannya hanya sekian meter.
Apakah Anies saking pinternya sehingga logika semudah ini tidak bisa dipahami? Atau apakah Anies terbuai dengan pujian dari pendukungnya, terutama rektor konyol itu, sehingga kepintarannya hilang? Masalahnya apa, tapi solusinya entah apa. Titik banjir malah makin banyak, tidak sesuai dengan target banjir surut dalam 6 jam.
Ngakunya kerja senyap, tapi sekali kerja malah gak jelas. Beginilah kalau pemimpinnya terlalu gengsi mengikuti jalan dari gubernur sebelumnya. Sehingga memakai cara sendiri yang parahnya tidak jelas dan berantakan.
Discussion about this post