Menjadi pemimpin memang tidak mudah, apalagi dengan memimpin sebuah partai besar di Indoensia. Nah biasanya setiap orang mempunyai keinginan, kebutuhan dan pengetahuan yang berbeda. Jadi dalam merespon suatu hal akan berbeda-beda.
Memimpin sebuah partai politik apalagi, makin sulit. Karena politik berkaitan erat dengan intrik, perebutan kekuasaan dan ambisi kekuasaan. Ambisi yang besar kadang kala melupakan tata krama dan aturan yang berlaku.
Partai Demokrat pernah jaya bahkan menjadi pemenang pemilu. PD juga sukses mengantarkan kader terbaiknya yakni SBY menjadi Presiden Republik Indonesia 2 periode.
Setelah SBY lengser Partai Demokrat tidak dipimpin oleh orang lain. Demokrat dipercayakan kepada pemimpin muda yang masih merupakan trah Cikeas yakni Agus (AHY).
Usianya masih muda harus banyak belajar agar bisa merangkul semua pihak tidak hanya kaum muda tapi juga pihak senior. Sehingga kudeta yang pernah terjadi dipastikan tidak terulang lagi.
Di era kepemimpinan AHY Partai Demokrat terus dilanda prahara. Beberapa waktu lalu terjadi badai besar berupa isu kudeta yang dipimpin oleh Jenderal Moeldoko yang merupakan orang dekat Presiden Jokowi. Untung saja kudeta ini tidak berhasil.
Prahara terus terjadi di tubuh Demokrat. Musyawarah Daerah (Musda) Partai Demokrat diketahui beberapa kali berujung kisruh. Penyebab kisruhnya musda itu hampir seluruhnya sama, yakni kebijakan DPP memutuskan Ketua DPD (Dewan Pengurus Daerah) tidak berdasarkan banyaknya dukungan yang didapat.
Setidaknya ada 4 musda di Demokrat yang berujung kisruh. Kader di daerah ini merasa DPP tak adil terkait pemilihan Ketua DPD. Kandidat yang memiliki suara terbanyak justru tidak terpilih jadi Ketua DPD.
Para pengurus daerah merasa aneh ketika ada tahapan lain yang harus dilalui, yakni fit and proper test. Kemudian hasilnya malah memutuskan kandidat lain yang tidak memiliki mayoritas suara.
Di tahap akhir memang Ketua DPD Demokrat hanya dipilih oleh tiga orang, yaitu Ketum PD Agus Harimurti Yudhoyono, Sekjen PD Teuku Riefky Harsya, serta Ketua Badan Pembinaan Organisasi Kaderisasi dan Keanggotaan (BPOKK) Herman Khaeron.
Kisruh terbaru dan heboh adalah di Sulawesi Selatan. Hal ini dilakukan setelah Ilham Arief Sirajuddin (IAS) tak terpilih dalam Musyawarah Daerah (Musda) Demokrat Sulawesi Selatan (Sulsel) pada Desember 2021. Padahal IAS memenangi Musda dengan mengantongi 16 suara dari DPC.
IAS bertarung dalam Musda PD Sulsel melawan Ni’matullah. Namun Dewan Pengurus Pusat (DPP) Demokrat lebih memilih Ni’matullah kembali memimpin Demokrat.
Karena kecewa IAS memutuskan untuk pindah partai. IAS resmi dikukuhkan menjadi kader Golkar dalam acara halal bihalal kader Golkar dan relawan Airlangga Hartarto. Pengukuhan IAS ditandai dengan pemakaian jasa kuning oleh Wakil Ketua Umum DPP Golkar Nurdin Halid.
Kekisruhan sejenis ini sudah terjadi di tiga daerah lainnya. Musda Jawa Timur Musda Jatim digelar pada 20 Januari 2022. Ada dua kandidat yang maju, yakni Bayu Airlangga dan Emil Dardak.
Bayu, menantu Pakde Karwo, mendapat suara dukungan terbanyak, yakni 24 DPC. Namun DPP justru memilih Emil Dardak untuk memimpin Demokrat Jatim. Bayu pun kecewa. Dia merasa dizalimi dengan hasil musda tersebut. Oleh karena itu, dia keluar dari partai.
Musda NTT Meski tak berakhir pisah jalan, musda DPD Partai Demokrat NTT juga sempat ricuh hingga muncul aksi pembakaran atribut partai. Massa yang ricuh memprotes hasil Musda Demokrat NTT yang menetapkan Leonardus Lelo sebagai Ketua DPD Partai Demokrat NTT terpilih.
Musda Riau Musda Riau juga berlangsung kisruh, namun persoalannya berbeda dengan musda-musda yang telah disebutkan.
Musda ini kisruh karena pengurus lama yang merasa kecewa imbas DPP yang secara tiba-tiba menggelar musda pengurus baru pada 2021. Padahal jabatan pengurus lama itu berakhir di Agustus 2022.
Kekisruhan ini terjadi karena ada aturan baru yang berlaku sejak tahun 2020. Aturan itu adalah fit dan proper test. Tahap akhir ini bisa menggugurkan syarat sebelumnya yakni didukung oleh mayoritas DPD.
Di tahap akhir memang Ketua DPD Demokrat hanya dipilih oleh tiga orang, yaitu Ketum PD Agus Harimurti Yudhoyono, Sekjen PD Teuku Riefky Harsya, serta Ketua Badan Pembinaan Organisasi Kaderisasi dan Keanggotaan (BPOKK) Herman Khaeron.
Syarat akhir ini yang memantik kekisruhan. AHY harus bisa bersikap bijaksana dengan mensosialisasikan secara masif aturan ini. Bahwa untuk jadi Ketua DPD syarat yang paling akhir yakni kepemilihan dari Tim 3 elit pusat Partai Demokrat sangat berpengaruh.
Sehingga para calon tidak hanya mengusahakan penggalangan dukungan mayoritas dari DPC tapi juga mendekati Tim 3 Elit Partai Demokrat pusat.
Discussion about this post