Setelah menolak UAS, Singapura kembali unjuk gigi untuk menolak para tokoh yang mereka anggap berbahaya.
Kali ini adalah aktivis KAMI Aktivis KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) yang ditolak masuk dan dideportasi dari Singapura, pada Sabtu kemarin.
Setiba di meja imigrasi Singapura, petugas langsung meminta Anton ikut petugas Polisi Singapura ke kantor, di samping meja imigrasi. Selama lebih kurang dua jam, dia ditanya banyak hal, isi tas diperiksa.
Ada sejumlah pertanyaan yang diajukan petugas Imigrasi dan Polisi Singapura yaitu tujuan ke mana, urusannya apa, jumlah uang yang di bawa, kerja di mana, menginap di hotel apa, berapa lama di Singapura dll.
Nah, pertanyaan terakhir ini sangat menarik.
Petugas imigrasi memberikan pertanyaan paling inti, yaitu “Kenapa Anda dipenjara?“
“Nah ini dia. Akhirnya feeling saya benar. Ini terkait kasus saya di Indonesia yang sudah divonis 10 bulan. Lalu saya jelaskan tentang kasus hukum saya terkait profesi saya sebagai penulis dan pengamat,” kata Anton.
Selanjutnya petugas mengambil sidik jari, scan mata, mengukur tinggi, difoto, dan tanya berapa jumlah uang yang dia bawa. Lalu dia disuruh membeli tiket balik ke Batam. Karena tak ada pilihan lain, terpaksa di pulang kembali ke Batam.
Anton mengatakan, mendapatkan perlakuan ramah dan profesional dari petugas imigrasi dan polisi Singapura. “Ketika saya tanya apa alasan kalian menolak saya? Apakah itu kehendak atau aturan pemerintahan Singapura? Atau ada “pesanan” dari pemerintahan saya? Mereka minta maaf tidak mau jawab. Mereka meminta jangan bikin gaduh seperti kasus UAS,” kata dia.
Sebelumnya, pada Mei 2022 lalu, majelis hakim pengadilan negeri Jakarta Selatan menjatuhkan vonis hukuman 10 bulan penjara terhadap Anton Permana. Dia adalah salah satu deklarator KAMI.
Anton dinilai telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dalam kasus ujaran kasus kebencian berbasis SARA dan penyebaran berita bohong terkait Omnibus Law UU Cipta Kerja. Hakim juga menilai Anton telah terbukti bersalah lantaran menyebarkan kabar yang dianggap tidak lengkap sehingga berpotensi menimbulkan keonaran di tengah masyarakat.
Akan tetapi Anton tidak menjalani masa penahanan, karena vonis hukumannya sudah dikurangi masa tahanan yang dijalani Anton selama persidangan berlangsung.
Paham ya kenapa Singapura menolak orang ini. Karena pernah bikin gaduh dan menyebarkan berita bohong. Seperti yang kita tahu, penolakan Omnibus Law berakhir hingga demo rusuh. Ini karena ada provokatornya. Dan Singapura tentu tidak buta akan informasi ini.
Dengan melihat ketegasan saat menolak UAS, sudah pasti Singapura tak mau mengambil risiko menerima masuk orang yang sudah pernah bikin gaduh.
Sudah tepat sih Singapura menolak orang ini. Karena orang ini sepertinya tidak pernah merasa bersalah. Dia merasa apa yang dialaminya itu adalah risiko perjuangan. Dia menegaskan, tidak akan menyerah dan pantang mundur dalam berjuang menyuarakan berbagai ketidakadilan yang terjadi.
Hahaha, lucu banget, kan? Sudah bersalah, pernah divonis, malah merasa seperti pahlawan yang berjuang menyuarakan ketidakadilan. Bikin gaduh kok tidak pernah mau introspeksi.
Lucunya lagi, dia dengan entengnya bertanya kepada petugas imigrasi Singapura apakah dirinya ditolak karena pesanan dari pemerintah. Ini orang benar-benar lucu. Dia pikir dia ini orang hebat dan terkenal se-alam semesta sehingga pemerintah merasa perlu turun tangan meminta pemerintah Singapura untuk mencekal dirinya.
Lucu sekali ah. Ngaca dulu deh. Memangnya dia itu siapa? Cuma deklarator KAMI yang sekarang sudah tidak ada powernya. Dulu sih iya, KAMI suka bikin sensasi. Sekarang seperti ditelan bumi.
Singapura sekali lagi seolah memberi pelajaran kepada Indonesia bagaimana seharusnya memperlakukan orang-orang yang pernah bikin gaduh dan berpotensi merusak negeri ini. Jangan beri ruang gerak. Jangan pandang bulu. Seharusnya pemerintah belajar dari sekarang sebelum terlambat.
Discussion about this post