Sekarang kita harus berhati-hati dalam memberikan sumbangan atau donasi. Karena banyak sekali organisasi yang malah menyalahgunakan bantuan yang kita beri. Contohnya lihat saja kasus ACT, mereka memakan uang umat untuk kepentingannya sendiri.
Ulah ACT membuat kita harus was-was. Meski tidak semua lembaga munafik seperti itu, tapi setidaknya kita harus berpikir kritis.
Hasil investigasi Tempo terhadap ACT juga didapatkan sejumlah modus yang mereka pakai untuk memotong donasi publik. Salah satunya dalam menggalang dana untuk korban kecelakaan.
“Beberapa hari setelah kecelakaan menimpa Suharno, istri, dan anaknya, pengurus ACT Cabang Bantul mendatangi rumah keluarga itu di Dusun Sanggrahan, Kecamatan Dlingo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kepada Suharno, pengurus ACT menyodorkan berkas penggalangan donasi untuk dia dan keluarganya,” tulis Tempo.
Sebuah truk berusaha menanjak, tapi karena tidak kuat, lantas mundur dan menabrak sebuah sepeda motor yang dikendarai oleh Suharno, istri dan anaknya Rizal yang berumur 5 tahun. Sedangkan nasib istrinya lebih parah, karena kaki kanannya harus diamputasi.
Menurut Suharno, pengurus ACT Bantul mengatakan dana yang terkumpul digunakan untuk berobat.
“Mereka pun berjanji mendampingi keluarganya hingga sembuh. Membutuhkan biaya untuk berobat dan bertahan hidup, tukang kayu itu pun menandatangani berkas penggalangan donasi,” tulis Tempo.
Pada November 2021, tim ACT mengumumkan pengumpulan donasi untuk keluarga Suharno di situs Indonesia Dermawan. Juga dipajang foto Rizal yang sedang menangis dan foto rontgen kakinya yang patah.
Sebulan kemudian, tim ACT Bantul menyambangi rumah Suharno. Mereka membawa uang tunai sebesar Rp 3 juta, bahan kebutuhan pokok, satu kruk kaki, dan kasur senilai sekitar Rp 3 juta.
Suharno mengaku tidak tahu berapa besaran donasi yang terkumpul untuk keluarganya. Biaya pengobatannya di rumah sakit diproses melalui KIS.
Saat Tim ACT kembali datang beberapa bulan kemudian, mereka bertanya berapa jumlah donasi yang terkumpul. Tapi, ACT tidak menjawab. Mereka hanya berjanji membangun bengkel kayu dan peralatan tukang untuk Suharno, membelikan kaki palsu untuk istrinya, dan merenovasi rumah.
Suharno kemudian bertanya lagi kepada tim ACT Bantul soal janji tersebut. Dia juga sempat mendapat kabar bahwa donasi yang terkumpul untuk keluarganya adalah Rp 412 juta dari target Rp 520 juta. Dia bertanya kapan uang tersebut disalurkan, tapi lagi-tapi tidak ada jawaban pasti.
Tempo kemudian menanyakan ini kepada Kepala ACT Yogyakarta. Dia hanya mengatakan kantor perwakilan ACT itu tak berwenang menentukan pencairan donasi.
“ACT pusat yang menentukan,” katanya.
Ini benar-benar gila dan parah. Dana yang terkumpul ratusan juta tapi hanya menyerahkan Rp 3 juta. Selisihnya terlalu jomplang. Sisanya di kemanakan? Pikiran publik pertama kali pastinya adalah dipakai untuk foya-foya para petingginya atau ditransfer entah ke mana untuk aktivitas terlarang.
Setahu saya, kalau lembaga terkenal menggalang dana, donasi yang terkumpul pasti besar jumlahnya. Tak mungkin hanya terkumpul jutaan. Bisa ratusan juta bahkan miliaran. Kalau hanya menyerahkan Rp 3 juta, rasanya sungguh keterlaluan.
Untung saja keluarga Suharno punya KIS, sehingga biaya pengobatan tak perlu dipusingkan lagi. Kalau tidak, bayangkan penderitaan mereka seperti apa.
Mungkin ada yang membela, terserah ACT mau sumbang mereka. Toh, mereka yang menggalang dana. Mungkin itu semampu dan seikhlas mereka. Woi, kalau begitu, tak usah pajang foto penuh tangis saat menggalang dana. Itu sama saja memanfaatkan penderitaan orang lain, mengumpulkan dana lalu cuma serahkan sesukanya. Ini namanya licik. Ini namanya korupsi donasi.
Sudah tepat Kemensos bekukan izin ACT. Bahkan petingginya harus diusut. ACT menyimpan banyak kebobrokan yang belum muncul ke permukaan. Kalau ditelusuri lebih dalam pasti akan banyak lagi bau busuk yang tercium.
Ternyata, neraka yang dialami oleh objek penggalangan donasi, adalah surga bagi ACT. Surga karena bisa menikmati mewahnya kehidupan duniawi. Dasar lembaga tak punya hati nurani.
Discussion about this post