Di antara keunikan dunia politik di Indonesia, salah satu yang sangat menarik adalah tradisi bermunculannya partai-partai baru setiap menjelang pendaftaran peserta Pemilu. Dan kali inipun pendaftaran partai peserta tak lepas dari tradisi itu. Partai baru bernama Partai Pemersatu Bangsa, barangkali termasukmenarik karena mendeklarasikan tekadnya mengukir sejarah baru pencapaian suara untuk sekelas peserta baru.
Layaknya selebritas nasional sang Ketum Eggi Sudjana bahkan sudah mulai mengeluarkan taji berupa sitiran pedas kepada partai-partai pendahulunya yang dia sebut partai yang banyak koruptornya. Tampaknya ada pesan yang ingin ditekankan kepada calon pemilih, barangkali Egi merasa layak diberi kesempatan menjadi pemuncak, karena belum tercatat di sejarah apapun partainya digawangi para koruptor.
Klaim ini setidaknya menasbihkan dua hal, dia mengajak pemilihnya mengalihkan dukungan dari partai-partai lama karena terbukti tidak satupun yang bebas dari kasus-kasus korupsi oleh para pejabatnya, itu pesan yang pertama. Kedua, Sekaranglah saatnya partai-partai baru menguasai parlemen, karena setiap periode waktu kerap ada penguasa dan ada yang mendominasi.
Sebagai partai politik, sebagaimana diakui sang Ketum, PPB sebenarnya bukan partai baru, hanya saja selama ini belum pernah berhasil menjadi peserta. Yang menarik karena ujug-ujug memasang target setinggi langit. Dan tentu saja keberadaannya belum menarik perhatian baik parpol lain maupun konstituen, sehingga cukup layak digaet sebagai mitra koalisi misalnya.
Adapun target yang ditancapkan PPB yang sangat menantang itu, tampak seperti menatap fatamorgana, sebuah perumpamaan yang tak berlebihan barangkali, karena partai dengan perolehan suara 5 persen, selama ini baru dicapai oleh mereka yang minimal sudah beberapa kali ikut serta.
Alih-alih mengemban misi sebagai partai low profile karena jika diibaratkan seseorang baru belajar melangkah, PPB justru memperagakan diri sebagai partai jumawa dan siap menggantikan partai dominan. Pemandangan itu tercermin dari klaim Eggi yang mengaitkan keberadaannya memang merupakan suratan zaman.
Inilah barangkali contoh sebuah entitas yang meskipun belum mampu berdiri sendiri, dan masih berkutat dengan sulitnya meletakkan fondasi eksistensinya, berlagak sejajar dengan partai-partai yang telah malang melintang di jagat politik tanah air.
Adakah yang bisa dipetik dari perilaku layaknya sultan atau penguasa seperti itu? Inilah saatnya kita kirimkan saran konstruktif bagi partai-partai lain yang menjadi new comer pada Pemilu 2024 nanti.
Bahwa setiap generasi selalu memiliki periode eksistensinya masing-masing, itu sah adanya. Tapi bukan berarti begitu zamannya sudah mendukung, maka otomatis dia boleh tiba-tiba muncul dan menjadi dominan. Jangankan sebuah entitas baru, para utusan Tuhan saja yang nota bene tak ada alasan untuk ditolak sebagai penawar kerawanan spiritual di zamannya, tetap mengikuti sunatullah. Mereka perlu tahapan evolusi sebelum ke kematangan untuk diterima secara alamiah.
Intinya, zaman yang tersedia bagi setiap generasi adalah ibarat kertas kosong bagi calon pembuat hasil karya. Kertas itu akan tiba saatnya berdaya guna, jika diisi dengan buah pikiran yang aplikabel, syukur-syukur memenuhi kebutuhan zamannya.
Maka berbicaralah dalam tataran yang setiap nalar mampu menerimanya, demikian Ferguso..! Adapun model yang sangat pas di periode ini, sebagaimana para praktisi sudah menerapkannya, adalah kolaborasi dalam segala variasinya. Singkatnya, sesempurna apapun sebuah entitas, dia tetap memerlukan entitas lain untuk membuatnya bertahan di dalam komunitas besar.
Rasanya sangat tak arif ketika seorang Ketum partai yang baru merangkak berkiprah, seolah-olah menafikkan keberadaan partai dominan sekalipun, dan menganggap calon konstituennya akan berduyun-duyun mendukung semata-mata karena tidak terlacak jejak korupsi.
Faktanya, perilaku tercela itu bukan hanya sebatas korupsi, karena hal demikian perlu kondisi yang memungkinkan mereka menjalankan kejahatannya. Sementara bagi mereka yang belum memungkinkan, setidaknya kita bisa menakar dari pergaulan mereka. Bagaimanapun, kalangan yang menjadi wilayah pergaulan mereka bisa dijadikan alat ukur, seperti apa potensi mereka untuk cenderung melakukan hal-hal tertentu.
Minimal masyarakat dapat menakar seseorang dari rekam jejaknya dalam kehidupan sosial dan ekonomi, tak melulu harus pernah menduduki jabatan publik untuk menakar dia layak menjadi panutan. Masyarakat sudah sedemikian dewasanya saat ini, maka berdewasa pulalah para kontestan, agar tak terjerembab oleh ulahnya sendiri.
Discussion about this post