Melihat dinamika yang ada, kemungkinan NasDem bakal berkoalisi dengan PKS dan Demokrat. Untuk itu, agar dapat mengusung pasangan Capres/Cawapres, ketiga partai ini mesti bersatu.
Lantas, apa yang menjadi bukti lain kalau NasDem berpeluang besar berkoalisi dengan PKS?
Pertama, ada nama Anies yang diusung oleh partai berslogan ‘Restorasi Indonesia’ itu. Yang kita tahu sendiri bahwa Anies merupakan idola kaum akhwat dan ikhwan PKS.
Artinya apa? Ketika NasDem mengusung Anies, kader PKS auto setuju diajak berkoalisi. Karena yang mau diperjuangkan secara bersama adalah orang yang sama.
Kedua, muncul berita Paloh menemui Jokowi pamitan akan beda haluan dengan orang nomor satu di Indonesia itu pada Pilpres 2024 mendatang.
Hanya Anies Capres yang sekarang diasosiasikan berseberangan dengan Presiden Jokowi.
Ketiga, Anies punya elektabilitas yang cukup tinggi. Selalu masuk 3 besar di setiap survei.
Sedangkan NasDem kita tahu sendiri, pragmatis banget. Partai ini tidak peduli dengan yang namanya gengsi, harga diri, dll. Siapapun Capresnya kalau berpeluang terpilih, ya didukung.
Terbukti, sejak NasDem terbentuk hingga sekarang, tidak pernah sekalipun punya Capres/Cawapres sendiri. Selalu mengusung kader partai lain.
Itu karena Paloh mikirnya lebih baik ngusung kader partai lain sebagai Capres dan menang daripada ngusung kader sendiri namun pada akhirnya kalah. Gak dapat kursi presiden atau wakil presiden, dapat jatah menteri jadilah.
Padahal harga diri atau gengsi sebuah partai itu ditentukan ada tidaknya Capres/Cawapres kader sendiri yang ditawarkan kepada masyarakat.
Mau di lihat dari sisi manapun PKS lebih keren daripada NasDem.
Kenapa? Karena menjelang Pilpres 2019 lalu PKS Pede mengumumkan 9 nama Capres/Cawapres yang kesemuanya adalah kadernya.
Persoalan kesembilan nama tersebut tidak masuk hitungan partai lain, itu mah urusan lain. Yang penting mengusung kader sendiri dulu.
Ibarat cowok-lah, percuma saja ganteng, punya harta yang cukup dan punya tubuh kekar tapi gak berani ngungkapin perasaannya sama cewek yang dia sukai. Mending cowok yang biasa saja tapi dia punya keberanian untuk mengungkapkan isi hatinya serta berani ambil resiko ditolak.
Pertanyaannya, bagaimana NasDem mau jadi partai penguasa kalau hanya mengharapkan coattail effect dari Capres kader partai lain?
Dapat sih dapat efek ekor jas, cuma tidak sebanyak yang didapatkan partai yang kadernya turut diusung oleh NasDem tersebut.
Seperti pada Pilpres 2019 lalu, NasDem berhasil mendapatkan 9,05 persen kursi di DPR. Yang angka itu didapatkan tidak lepas dari dukungannya kepada Presiden Jokowi. Hanya saja PDIP sebagai partainya Jokowi, malah mendapatkan porsi kursi di DPR jauh lebih besar yakni 22,26 persen.
Dengan perolehan suara sebesar itu, PDIP menduduki nomor satu sebagai partai dengan perolehan suara terbanyak. Sedangkan NasDem berada di urutan kelima.
Dan jangan salah-salah, NasDem berkoalisi dengan PKS ini juga bisa bikin pemilih PKS mabok.
NasDem ini kan mendukung Ahok pada Pilgub DKI 2017 lalu. Sedangkan Ahok kala itu sempat tersandung kasus penistaan agama. Jadilah nama NasDem ikut terseret yakni disebut sebagai partai pendukung penista agama oleh Kadrun.
Sampai sekarang pun tuduhan itu masih melekat pada partai yang pernah dipimpin oleh Rio Capella tersebut.
Nah, ketika NasDem mengusung Anies itu artinya Gubernur DKI tersebut diusung oleh partai pendukung penista agama.
Ini yang bikin pemilih PKS pusing 7 keliling lapangan sepak bola.
“Masa iya partai yang kita idolakan selama ini berkoalisi dengan partai pendukung penista agama?”
“Dan, masa iya kita mendukung Anies yang juga diusung oleh partai pendukung penista agama?”
Demikian beberapa pertanyaan yang muncul di benak para pemilih PKS yang sedang bingung tersebut.
Sepertinya dalam rangka menghadapi kebingungan ini, MUI perlu bikin fatwa halal hukumnya pendukung PKS nyoblos Anies meskipun juga diusung oleh NasDem.
Biar mereka tenang gitu. Hehehe
Hanya saja, PKS tidak perlu terlalu khawatir terhadap fenomena ini. Karena punya teman.
Pemilih NasDem juga mabok kecubung kok.
Kenapa demikian?
Karena mereka kan rata-rata nasionalis, malah dipaksa bergabung dengan partai yang mainin isu SARA serta dipaksa mendukung Capres yang selama ini identik dekat dengan kelompok intoleran, (FPI, PA 212, GNPF Ulama, dll).
Hal ini juga yang kemudian menjadi tantangan tersendiri PKS dan NasDem untuk segera dicarikan solusinya.
Minimal kedua partai itu bisa meyakinkan pemilih supaya tidak lari ke partai lain.
“NasDem sekarang sudah bukan pendukung penista agama lagi kok. Sementara PKS sudah bukan partai yang rasis lagi. Tapi bersifat lebih moderat dan terbuka,”
Discussion about this post