Salah satu hal yang paling konyol terjadi di Jakarta sampai hari ini adalah masih adanya warga Jakarta yang masih percaya bahwa Gubernur saat ini beneran niat bekerja untuk kepentingan dan kebaikan rakyat Jakarta. Mereka yang masih terbuai dengan janji manis dengan perkataan yang terlihat baik, meyakinkan, sopan, dan seolah-olah menjawab kebutuhan atau harapan rakyat Jakarta, di situlah kita boleh tertawa dengan keras.
Bagi saya pandangan ini berlaku pula terkait soal pengakuan Anies yang membebaskan pembayaran PBB bagi warga Jakarta dengan rumah yang memiliki NJOP di bawah 2 miliar.
Kata Anies dengan gaya khasnya, ini akan menjadi semacam perubahan paradigma bagi warga Jakarta dengan tujuan supaya warga tidak terusir dari Jakarta. Sedihnya, hal ini masih juga dipercaya oleh sebagian rakyat Jakarta. Mereka seperti tidak kapok berkali-kali diperdaya oleh janji manis Gubernur mereka sendiri, yang sejak masa kampanye sudah menebarkan banyak janji, tetapi realisasinya jauh dari harapan.
Soal kebijakan pembebasan PBB sebetulnya bukan sesuatu yang baru, hanya ada penambahan kebijakan plus perubahan istilah saja.
Kabarnya, soal kebijakan PBB era Anies sekarang berlaku tak hanya pembebasan bayar PBB untuk rumah dengan bagi rumah dengan NJOP di bawah 2 miliar rupiah, tapi warga juga diberi diskon sebesar 10 persen (bagi rumah tinggal) dan 15 persen (selain rumah tinggal).
Ada pula kebijakan pengurangan pajak 60 meter persegi untuk bumi dan 36 meter persegi untuk bangunan. Selain itu, biar semakin tampak bak Sinterklas yang bagi-bagi hadiah, warga Jakarta masih diberi keringanan pokok pajak dan penghapusan sanksi administrasi untuk wajib pajak dengan ketetapan PBB di atas Rp100 Juta.
Terlihat baik, ya? Tapi saya masih ragu, karena kebijakan utamanya masih terlihat sekadar meneruskan program dan rencana sejak era Jokowi hingga Ahok. Istilahnya orang masak, Anies hanya menambah bumbu sedikit, menghangatkan, lalu mempercantik penyajian saja.
Memang dalam hal mengolah kata dan membumbui program gubernur sebelumnya agar bisa diklaim sebagai prestasi baru, Anies tampaknya jago melakukan kamuflase ini, karena faktanya masih ada yang percaya kok. Mungkin inilah sisi lain dari fanatisme politik di negeri kita pada era masa kini. Betul?
Saya sih cukup menyayangkan soal keberadaan Ahok, yang siap menjadikan Jakarta lebih manusiawi dan sejahtera, karena jegalan politik dari para pembencinya. Namun, ibarat nasi sudah menjadi bubur, begitu pula kondisi Jakarta yang rasanya akan sukar diperbaiki oleh pejabat sementara maupun gubernur selanjutnya, karena dampak dari “kerusakan” yang ditinggalkan sejak 2017-2022 ini tampaknya sukar diperbaiki.
Gubernur yang sekarang terlihat tak bisa bekerja dengan baik dan kebanyakan untuk program yang baik, tampaknya sekadar meniru, memoles, dan mengklaim program dan rencana jangka panjang dari para gubernur sebelumnya.
Ya, nggak apa-apa sih karena semua itu merupakan hak siapa saja yang duduk di kursi empuk DKI-1. Nggak dosa juga, bahkan kalau seandainya semua program Ahok diklaim sebagai prestasi kerja Anies, lalu tanpa malu-malu dicantumkan di CV pribadinya sebagai eks Mendikbud dan eks Gubernur DKI Jakarta itu.
Jadi silakan saja kalau masih ada yang percaya sama orang ini, minimal sampai Oktober 2022. Trus kalau ada yang percaya lagi, dengan skala lebih besar kalau beneran Anies diusung buat Nyapres, ya kita terima saja sebagai realitas politik di negeri ini, yang mana sebagian masyarakat masih mudah terperdaya atau masih memilih sosok berdasarkan fanatisme buta belaka. Urusan bisa kerja atau cuma bisa “selebrasi dan potong pita” mungkin jadi urutan ke 212, kayak yang terjadi pada Pilgub 2017 lalu.
Silakan jika tetap ada yang percaya bahwa Gubernur Anies beneran niat bekerja untuk rakyat Jakarta sampai Oktober 2022, tapi secara pribadi saya sampai kapan pun tidak akan percaya bahwa orang ini benar-benar bekerja untuk kepentingan masyarakat. Meski saya juga menyadari bahwa semuanya kembali pada pilihan yang sudah dibuat masyarakat.
Ingatlah pula bahwa biasanya pilihan yang keliru itu baru disadari ketika kerusakan sudah terjadi atau ketika kehancuran sudah tidak bisa diperbaiki lagi. Ini wajar, karena dalam hidup ini kalau penyesalan itu datang di depan, bukankah itu namanya pendaftaran?
Jadi bagaimana? Masihkah ada yang percaya bahwa kebijakan gratis PBB ini untuk kepentingan warga Jakarta atau jangan-jangan ada “udang di balik batu” atau motivasi licik di dalamnya, yang ujungnya mengarah pada konstestasi Pemilu 2024?
Discussion about this post