Alur pilkada DKI Jakarta 2017 telah tercatat dalam sejarah kelam demokrasi Indonesia. Sebuah pelajaran bagi bangsa Indonesia tentang kebiadaban kaum radikal dan intoleran, yang sangat bertentangan dengan jati diri sesungguhnya bangsa Indonesia. Sejarah buruk jalannya pilkada yang mengarah kepada perpecahan berkelanjutan antar masyarakat, benar-benar telah membuat luka terhadap demokrasi dan perlu waktu lama untuk menyembuhkannya. Model dan gaya pilkada DKI Jakarta 2017 diibaratkan pupuk bagi tumbuh suburnya radikalisme dan intoleransi. Dan dengan sendirinya, nama Anies Rasyid Baswedan tidak akan bisa lepas dari kaum radikalis dan intoleran.
Semua elemen bangsa ini seharusnya memiliki kesadaran, bahwa politik identitas keagamaan tidak banyak membawa kebaikan bagi sistem demokrasi di Indonesia. Justru yang terjadi adalah sebaliknya, radikalisme dan intoleran seolah diberi tempat khusus, sehingga memunculkan berbagai tindakan arogansi bertopeng agama. Bahkan berpotensi menggerus nilai-nilai luhur serta pilar berkebangsaan dan bernegara, yaitu Pancasila dan UUD 1945.
Mengerikan sekali membayangkannya, jika radikalisme dan intoleransi ini semakin menjadi-jadi di negeri tercinta ini. Tidak akan ada lagi tercipta atsmosfer kebersamaan dan saling menghargai dalam kehidupan bermasyarakat. Padahal negara ini terbentuk oleh satu semangat kebangsaan, yang kemudian tersokong oleh kuatnya persatuan kesatuan.
Sudah terbukti dan nyata di DKI Jakarta, bagaimana pemimpin yang kemenangannya diusung oleh radikalisme dan intoleran, hanya bisa berwacana tanpa mampu bekerja. Jangankan bekerja, merencanakan program yang menjadi kebutuhan mendasar masyarakat saja, tidak terwujud. Yang diutamakan hanya program yang sekiranya menguntungkan dirinya, bisa untuk pencitraan, dan ada peluang kelebihan bayar. Tanpa sedikit pun memikirkan bagaimana cara merealisasi janji-janji bualan kampanye. Masyarakat pemilihnya bukan lagi prioritas untuk diperhatikan. Yang diutamakan adalah balas jasa membantu balik kaum radikal intoleran yang telah membantu memenangkannya, dengan dana-dana hibah
Kaum radikal dan intoleran tidak akan pernah bisa lepas dari karakter aslinya, yaitu merusak norma, keras, ngawur, memaksa, tidak peduli, dan keroyokan. Mereka hanya mengandalkan kuantitas bukan kualitas. Maka dari itu, yang bisa kita lihat dari kaum radikalis dan intoleran ini hanyalah kebodohan dan kekonyolan tingkah laku yang tidak masuk akal.
Sayangnya, masyarakat banyak yang tidak menyadari bahwa mereka telah terperangkap pada sebuah pembiaran sistemik, yang memberi peluang kaum radikalis intoleran berkembang dan bertingkah laku semaunya sendiri, serta dengan entengnya melanggar berbagai norma kemanusiaan yang berlaku. Perangkap radikalisme itu terpasang dengan umpan utama sentimen agama, kailnya adalah orang-orang yang mengaku-ngaku ulama, bermodal pengetahuan agama yang dangkal. Bahkan sampai berani membodoh-bodohkan ulama yang sesungguhnya, yang proses keulamaannya melalui menimba ilmu agama di pesantren.
Nasdem Mengirim Paket Radikal dan Intoleran Melalui Capres Anies
Terpilihnya nama Anies Baswedan sebagai capres oleh Partai Nasdem, bukanlah sebuah kebetulan. Manuver Nasdem ini pasti dan jelas berkaitan dengan usaha mendulang suara dari kelompok-kelompok radikalis, yang pada pemilu 2019 lalu lebih mendukung partai oposisi pemerintah, terutama PKS. Sedang pada pilkada DKI 2017, kelompok-kelompok radikalis dan PKS mendukung Anies.
Dengan mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai Capres 2024, sama halnya dengan Nasdem sedang memberi tempat buat kaum radikal dan intoleran untuk lebih eksis. Anies Baswedan dengan kelompok radikal itu satu paket yang tidak bisa dipisahkan. Munculnya framing ini tidak bisa juga dihindari oleh Anies, karena memang kelompok inilah yang mengantarkannya menjadi DKI 1. Dan untuk selanjutnya politik berbasis politik identitas ini semakin mempertegas adanya polarisasi berkepanjangan. Kita sependapat kalau polarisasi adalah hal yang biasa, tapi khusus bagi negara yang demokrasinya sudah benar-benar matang. Untuk Indonesia, polarisasi justru semakin memperlebar pertentangan identitas, yang seharusnya mudah dipersatukan.
Dengan mengusung Anies Baswedan, Nasdem seharusnya mempertimbangkan banyak hal terutama pembingkaian politik identitas yang sudah terlanjur melekat pada diri Anies. Jangan salahkan netizen jika kemudian mengubah Nasdem menjadi Nasdrun. Inilah salah satu penyebab, mengapa banyak yang meninggalkan Nasdem dan berpaling ke partai yang lain. Restorasi Nasdem saat ini sudah berubah menjadi tidak menarik lagi. Restorasi yang hanya untuk kepentingan Nasdem sendiri.
Syalom, Salam dan Rahayu
Discussion about this post