Orang paling kecewa se-Indonesia minggu-minggu ini mungkin hanyalah Anies Baswedan. Dipastikan deklarasi Koalisi Perubahan 10 Nopember lalu, batal. Gara-gara PKS masih lengkak-lengkok (belagu), kepastian dia sebagai bakal Capres jadi berantakan. Sedangkan bakal Cawapres lainnya dari Demokrat juga malah angin-anginan, pergi keluar negeri. Ironis kan, mau bikin Koalisi Perubahan malah pada berubah haluan.
Bagi Surya Paloh sih, seperti yang pernah dikatakannya, Koalisi Perubahan batal tidak masalah. Sebab dengan batalnya Koalisi Perubahan dia jadi punya alasan manis untuk melepas Anies. Sebab ternyata, dibela-belaian sedemikian rupa, malah elektabilitas Nasdem jadi makin merosot, bahkan nyaris terpental dari Senayan karena tinggal 4,3 persen versi Litbang Kompas. Kasihan kan, sudah dicap Ketum Parpol yang sembrono, ternyata Anies tak sekelas besi sembrani.
Dengan melepaskan Anies, diharapkan elektabilitas yang sempat menukik tajam itu kembali normal atau bahkan naik. Kader partai yang bergantian njepluk (keluar) balik lagi ke kandang, memperkuat barisan Nasdem. Jika ada yang menuduh Paloh melepas Anies bagaikan habis manis sepah dibuang, jawab saja, “Menggandeng Anies sama sekali belum ketemu manisnya, bahkan pahit melulu.”
Hari kemarin, Si Bewok memilih menyibukkan diri dalam hajatan Ultah Partai Nasdem yang ke-11 di JCC Senayan. Sialnya, meski Presiden Jokowi diundang, kali ini tidak hadir. Kabarnya, sebagai pelipur lara akan dikirimkan sambutan lewat video. Ternyata itupun gagal. Tentu hal ini bikin Paloh pikirannya ngelantur ke mana-mana. Presiden Jokowi kok tidak hadir seperti biasanya, kenapa gerangan? Padahal dalam kondisi sedemikian galau ini, ucapan ultah Presiden Jokowi lewat telpon pun sudah menjadi penyejuk hatinya. Tapi itu tak kunjung ada juga.
Mungkin benar karena alasan Presiden sedang ke KTT Asean ke 40-41 di Phnom Penh (Kamboja) dan juga sibuk dengan persiapan KTT G-20 di Bali. Tapi bisa juga karena kesembronoannya itu, sebagai partai mitra koalisi kok Nasdem malah mau mencapreskan Anies. Tambah-tambah si Anies juga hadir pada Ultah Nasdem tersebut. Padahal bagi Presiden Jokowi, Anies ini tak ubahnya si kancil anak nakal kerjanya mencuri perhatian, ayo lekas dijewer jangan diberi ampun.
Mencuri perhatian atau mencuri start? Tanyakan pada orang Medan sana. Sebab belum musim kampanye, belum jadi Capres definitip versi KPU, kok Anies sudah malang-melintang kampanye ke mana-mana. Tapi justru di sinilah Anies bisa berkelit seperti si kancil anak nakal itu. Kalau sudah resmi Capres, kampanye belum waktunya bisa disemprit Bawaslu. Ini kan belum jadi Capres, mempromosikan diri –istilah Anies: asessment– di luar jadwal KPU di mana salahnya?
Sebetulnya biang kerok batal atau ditundanya Koalisi Perubahan itu, karena PKS dengan Ahernya dan Demokrat dengan AHY-nya; tak mau mengalah untuk melepas peluang jadi Cawapres-nya Anies. Atau kalau mau, masalahkan saja pasal UUD 1945 tentang Wapres, lalu diuji meteri di MK untuk ditambahkan norma “Wapres bisa lebih dari satu”. Soalnya DKI di masa Orde Baru, Wagubnya bisa sampai empat. Dalam negara sistem kerajaan pun, patihnya ada dua, yakni patih njaba dan patih njero.
Untuk mengusung norma “Wapres lebih dari satu” logikanya adalah, Jakarta tahun 1980-an yang penduduknya hanya 6,5 juta saja punya Wagub sampai 4 orang. Masak Indonesia sekarang yang berpenduduk 270 juta hanya punya Wapres 1. Kasih juga minimal dua, sehingga bakal Cawapres Koalisi Perubahan tak perlu menemui jalan buntu.
Masalahnya uji materi begituan itu, apa nguber waktunya? Perlu diketahui MK itu beda dengan DPR. DPR jika menyangkut untuk kepentingan mereka sendiri, merevisi Undang-Undang berlangsung cepat sekali. Tapi kalau bukan untuk kepentingan mereka sendiri ya lama. Sekedar contoh revisi UU MD3 (MPR, DPR, DPRD dan DPD) di tahun 2018, baru setahun ditetapkan sudah direvisi lagi karena demi kepentingam mereka.
Tetapi itu semua mustakhil adanya. Jangankan hanya ingin penambahan norma semacam itu, sedangkan uji materi PT (Presidential Thresold) 20 persen sudah berkali-kali ditolak MK. Tragisnya kebuntuan Koalisi Perubahan sekarang sudah diperolok-olokkan oleh Fahri Hamzah yang bekas orang lama di PKS. Kata dia, Koalisi Perobahan batal karena bandar belum sepakat, duit belum terkumpul, PT 20 persen juga belum tercapai.
Seakan menggarisbawahi Fahri Hamzah, Mardani Alisera Ketua DPP juga tak mau partainya menjadi korban pemainan pemodal besar yang main dua kaki lewat oligarki politik. Padahal sekali pihaknya menerima bantuan dari oligarki maka kerja politik jadi terganggu. Paling tidak, kedaulatan partai sudah tidak bisa tegak lurus.
Beda lagi menurut politisi Demokrat Andi Arief. Koalisi Perubahan batal mendeklarasikan diri karena diganggu oleh “burung hantu” yang kerjanya malam hari dan membahayakan. Apa iya begitu? Jika itu masalahnya, sebenarnya “burung hantu” itu mudah diusir hanya dengan membakar rambut. Dengan catatan, burung hantu itu tidak bergerigi lho ya!
Celakanya, ketika Koalisi Perubahan nasibnya tidak menentu, PKB sudah mengklaim bahwa ada dua parpol Senayan akan bergabung ke KIR (Koalisi Indonesia Raya). PKS-kah itu, Nasdem kah, atau Demokrat? Mungkin saja godaan PKB itu sangat menggiurkan. Bila itu benar adanya, sungguh ironis Koalisi Perubahan bisa berubah haluan.
Akan halnya AHY, sejak pembentukan Koalisi Perubahan makin ruwet bak bolah bundhet (benang kusut), sepertinya sudah pasrah nrima ing pandum. Keluar negeri dibikin berlama-lama. Setelah Jerman melanjutkan umrah di Mekah-Madinah. Mungkin dia berpasrah diri, yang akan terjadi terjadilah. Bila Koalisi Perubahan ini batal gara-gara si “burung hantu”, itu jahat sekali bukan?
Discussion about this post