Anies Baswedan, mantan gubernur yang sekarang menyandang predikat sebagai bakal calon presiden. Anies harus kerja keras, untuk tetap eksis di depan publik. Karena, tanpa jabatan publik, dirinya bisa tenggelam. Sudah ada contohnya ya, seperti Gatot Nurmantyo, mantan Panglima TNI. Yang terkenal waktu masih jadi Panglima TNI. Namun sesudah itu, walaupun dia jungkir balik mendekati partai politik, menjual narasi PKI atau komunis, bahkan mendirikan gerakan yang menuntut Presiden Jokowi mundur, tetap saja, nama Gatot tenggelam. Tidak ada partai politik yang tertarik untuk mendukung Gatot nyapres.
Agar tidak bernasib seperti Gatot Nurmantyo, maka Anies menggeber safari politik. Kerja keras. Lebih keras ketimbang waktu dia jadi gubernur. Ya iyalah, ambisi pribadi jadi taruhannya ya. Sedangkan dulu kan jabatan gubernur itu tetap melekat, walaupun Anies tidak memperhatikan seluruh kebutuhan warga Jakarta. Gpp lah bangun stadion JIS dengan dana triliunan, sementara masih ada warga Jakarta yang BAB di kali, atau kekurangan air bersih. Toh jabatan gubernur sudah di tangan.
Kalau sekarang ini, beda ceritanya. Resikonya besar buat Anies sendiri. Dia baru diajukan sebagai bakal calon presiden oleh satu partai politik, tanpa dukungan koalisi partai untuk memenuhi angka presidential threshold 20 persen. Pokoknya Anies harus menunjukkan bahwa dia bisa menggalang massa, jadi perhatian massa dan media. Kalau urusan malu itu sudah lah, ditelan aja, ya kan?
Anies pun menjual rekam jejaknya kepada masyarakat di luar Jakarta. Massa di luar Jakarta mana paham kan fakta dan kenyataan di Jakarta. Apalagi yang memang sudah ngadrun, yang nggak suka Jokowi dan berkiblat ke 212 dan sang imam besar. Atau massa pengusung khilafah yang sedang mencari kendaraan untuk mendirikan kekhilafahan di NKRI. Ditambah dengan massa yang digerakkan oleh partai NasDem, partai yang sudah mendeklarasikan Anies sebagai bakal capres. Jadi ke mana pun Anies, maka dia pasti akan mendapat sambutan massa.
Terlebih di daerah-daerah yang pada Pilpres 2019, pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin mengalami kekalahan di sana. Seperti Aceh, Sumatera Barat, Riau, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Ini memang sebuah strategi yang harus diambil ya. Di daerah-daerah itu kan sambutan terhadap Anies tampak wah, ramai, membludak. Agar terlihat wah pula di media yang memberitakan. Lalu disebarkan oleh para pendukung dan buzzernya. Seolah-olah rakyat Indonesia mengelu-elukan Anies. Padahal kalau yang pikirannya waras dan bisa menghitung ya. Misalnya massa di sebuah masjid itu paling berapa sih? Anggap saja 5 ribu sampai 10 ribu. Sedangkan massa pemilih di propinsi itu, misalnya di Aceh, itu waktu Pilpres 2019 total suaranya sekitar 2,8 juta ya. Jauh kan dari angka 5 hingga 10 ribu?
Semua itu hanya untuk membangun citra, pencitraan. Dan bisa ditanyakan itu ke pihak Anies, kenapa nggak bikin panggung di Jakarta? Kemungkinan besar jawabannya ini ya. Karena penyambutan terhadap pengganti Anies, Heru Budi Hartono di Balai Kota, aslinya lebih meriah ketimbang acara perpisahan Anies. Karena yang menyambut Heru Budi itu benar-benar warga Jakarta dan para pegawai Pemprov DKI Jakarta. Nggak ada relawan di sana, apalagi massa yang digerakkan oleh partai politik. Makjleb itu!
Nahh… Sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya kepleset juga. Sebisa-bisanya bikin pencitraan, akhirnya ambyar juga. Dan ke-ambyaran ini pun bakal jadi rekam jejak Anies ya. Artinya akan merugikan Anies dan NasDem jika diungkit lagi di masa mendatang. Merugikan dan memalukan hehehe…
Beberapa hari lalu, Anies kan menjalani safari politik ke Aceh, Sumatra Barat dan Riau. Kita mulai di Aceh. Di situ kan awalnya pihak Anies, terutama NasDem, bikin heboh di media. Karena tersiar berita bahwa izin lokasi safari politik Anies di Aceh dicabut. Ribut dong NasDem di media. Padahal beberapa jam berikutnya keluar berita yang menerangkan kejadian sesungguhnya. Bahwa ternyata taman lokasi safari politik Anies itu sedang dalam renovasi. Sehingga Pemda setempat tidak mengizinkan adanya acara di sana. Yang terdampak bukan hanya Anies kok. Ada pihak lain yang mau menggelar rally wisata, yang juga tidak diberi izin. Gagal dong drama terzolimi ya hehehe…
Masih di Aceh, drama berikutnya adalah drama “telur busuk”. Beredar berita Kantor DPW NasDem Aceh dilempari telur busuk oleh orang tak dikenal. Petinggi NasDem menyebut pelakunya sebagai “pembenci Anies”.
Insiden ini pun disamber oleh kedua partai calon teman koalisi NasDem, PKS dan Demokrat. Lumayan kan, dapat lagi narasi teraniaya. PKS menyebut tindakan pelemparan telur busuk itu mengancam hak-hak demokrasi masyarakat yang ingin mendukung tokoh yang mereka akan usung sebagai presiden. Sementara Demokrat menyebut pelaku tindakan itu adalah pihak-pihak yang tidak menghendaki dan ketakutan akan kuatnya arus perubahan. Panjang lebar lah ya komentar partai Demokrat. Sampai meminta Presiden Jokowi untuk berhenti mengendorse capres dan cawapres.
Pokoknya insiden telur busuk itu diolah sedemikian rupa sampai bisa mencapai level tertinggi dan perhatian terluas. Padahal, ternyataaa…. Apa kata pihak kepolisian? Ternyata telur yang pecah itu adanya di jalan, bukan di Kantor DPW NasDem Aceh. Jaraknya 50 meter dari Kantor NasDem itu. 50 meter itu jauh lho. Pihak kepolisian menyebut bahwa ada petugas yang berjaga di Kantor DPW NasDem. Kantor dalam keadaan aman, tidak ada telur pecah di sana. Kalau pecahnya di jalan, ya mana tahu kan. Bisa aja ada orang beli telur lalu kena apa dan telurnya jatuh dan pecah hehehe… Kasihan itu telur ya. Udah pecah, diajak main drama pula hehehe…
Berikutnya di Sumatra Barat. Kedatangan Anies di sana bikin heboh juga. Karena ternyata Anies naik private jet. Anies naik private jet jadi masalah, karena pencitraan yang dilakukan Anies sebelumnya. Masih ingat kan video Anies naik pesawat kelas ekonomi?
Video itu menyebabkan Anies katanya banjir pujian, karena dianggap merakyat. Dan akhirnya banyak juga yang menyebutnya sebagai pencitraan, karena Anies yang duduk di kursi barisan belakang, masuk ke pesawat belakangan, dan diikuti oleh kamera. Sedangkan dulu ketika jadi gubernur, juga pernah bocor foto Anies naik pesawat di kelas satu atau first class kan?
Nah ini cuma ke Sumbar, Anies naik private jet yang sewanya disebut mencapai 500-an juta rupiah. Wow, ambyarr lah itu merakyat. Malah media menayangkan berita soal terduga pemilik pesawat jet yang dinaiki Anies. Yakni seorang pengusaha minyak. Anies pun dikaitkan dengan oligarki migas. Jangan heran ya, kalau nanti-nanti bisa saja beredar isu bahwa Anies ini adalah presiden boneka oligarki. Bisa jadi ya. Drama merakyat pun ambyarr…
Dan brukkk…! Di Riau, panggung acara Anies di sana bersama para relawan pun ambruk. Bisa jadi karena faktor keselamatan yang terabaikan. Yang tidak diperhitungkan. Seperti halnya pagar tribun stadion JIS yang ambruk waktu itu. Sampai anak buah AHY pun minta Anies mengakui kesalahannya.
Saya sih menunggu pihak NasDem menyebut bahwa panggung yang ambruk itu adalah tanda-tanda alam. Seperti dulu ketika Anies makan semeja dengan Surya Paloh, SBY, JK dan para petinggi partai lainnya, lalu disebut sebagai tanda-tanda alam oleh NasDem. Terus panggung yang ambruk ini tanda-tanda alam yang bagaimana ya? Peringatan alam soal drama-drama pengibulan teraniaya, yang dimainkan Anies dan NasDem itu, bakal membawa keambrukan? Nggak tahu deh kita. Kura-kura emang juara!
Discussion about this post