Bertebarannya berita tentang tudingan keburukan dan kebohongan Abas sang fenomenal menjadi bahan renungan kita, apakah hal itu disebabkan kecemburuan semata? Atau ada alasan yang lebih masuk akal? Jawabannya disinyalir karena dia memang cenderung memanfaatkan etnis dan agama demi mengerek elektabilitas dan popularitas. Pemanfaatan ras, agama dan etnis untuk konsumsi politik semakin kental manakala mendekati masa-masa kontestasi. Rekam jejaknya mudah dijumpai ketika pilgub DKI tahun 2017.
Keuntungan itu sangat dibutuhkan sang fenomenal karena tanpa itu partai politik pun niscaya enggan meliriknya, padahal obsesi menjadi orang nomor satu negeri ini sudah mencapai ubun-ubun. Kedekatan Abas dengan Ulama rasis mantan Ketua Ormas terlarang menjadi alasan lain sehingga masyarakat, khususnya yang berasal dari kalangan moderat, sangat hati-hati. Sebaliknya bagi kaum radikal, fundamental dan mantan anggota ormas terlarang HTI, FPI dan yang berafiliasi kepada keduanya, justru dengan mudah dimobilisasi sebagai pemandu sorak.
Jika kita melihat dampaknya di tengah masyarakat, khususnya warga Jakarta, bahkan hingga kini setelah yang bersangkutan lengser setelah memenangi pilgub lima tahun lalu, kita memang merasa miris, bahwa masyarakat sudah mengkristal sebagai residu penggunaan politik identitas saat itu. Dan tampak pula potensi terjadinya fenomena yang sama pada pilpres tahun 2024, sangat besar mengingat pemandu sorak yang sama kembali menggeliat.
Barangkali faktor pemicu maraknya tudingan kepada Abas dan para pendukung yang mayoritas intoleran, adalah latar belakang berupa cara mereka bersosialisasi tentang jagoannya untuk maksud pilpres tadi.
Kepintaran berkomunikasi dan beretorika yang dimiliki Anies, menjadikan daya tarik bagi masyarakat. Skill inilah yang membuat Anies dengan tenang dan santai dalam menanggapi isu negatif tentang dirinya yang lama-kelamaan berangsur meredup, meskipun publik tak sepenuhnya melupakan rekam jejak buruk itu.
Dengan pemilihan kata yang intimidatif, sehingga mampu merubah persepsi-persepsi buruk menjadi sebuah rasa simpati dan menaikkan citra positif Abas, lagi-lagi kita melihat kejeliannya memanipulasi fakta dari semula negatif, diubah menjadi positif melalui permainan argumen. Dengan latar belakang akademisi, tak heran Anies memiliki skill berkomunikasi yang berkelas. Tak kayal bahwa citra seorang Anies yang pintar dan santai melekat pada dirinya, dan untuk memoles dirinya, sang fenomenal memanfaatkan keahliannya itu agar tampak menarik dibanding realitasnya.
Maka kepada kompetitor Abas, mereka perlu mencari cara mengimbangi gaya Abas di depan calon pemilih, agar tidak melepaskan sisi fakta dari narasi yang dibuatnya selalu menghipnotis. Klaimnya sebagai berhasil membawa Jakarta seperti saat ini, adalah salah satu cara Abas menghipnotis calon pemilih, padahal masa kampanye belum mulai, namun dari awal dia sudah berjuang membangun citra diri secara manipulatif
Discussion about this post